Laman

Minggu, 01 Mei 2011

Anti Madzhab dan Pintu-Pintu Radikalisme

Oleh: Ghufron bin Mutsani

Akhir-akhir ini, sering kita dengar banyaknya mahasiswa yang menjadi korban cuci otak dan direkrut menjadi anggota sebuah kelompok, yang diisukan bahwa kelompok tersebut adalah NII. Jika kita mendegar cerita para korban, NII merekrut korban dengan memanfatkan dalil ayat-ayat al Quran sebagai jalan kelompoknya untuk membenarkan argumennya dan juga sebagai cara menarik korban untuk ikut menjadi anggotanya. Setelah korban tertarik dan mau menjadi kelompoknya, korban ditariki iuran dan bahkan NII menghalalkan mencuri uang dari orang di luar kelompoknya. Karena menurt mereka, orang diluar kelompoknya adalah kafir, walaupun orang tersebut sebenarnya adalah orang muslim. Karena itu, menurut mereka, hartanya halal untuk diambil.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa korbannya mahasiswa dan kenapa korban mudah percaya dengan panafsiran al Quran gaya NII. Diantara kemungkinannya adalah karena mahasiswa adalah masih muda, sehingga masih mudah dibangkitkan militansinya, dan penggunaan ayat-ayat al Quran oleh NII adalah karena kedekatan emosional dan rasa percaya mahasiswa muslim dengan kitab sucinya tersebut sebagai dasar argumen, walaupun penafsiran-penafsiran NII belum tentu benar. Bahkan jika melihat cerita para korban diatas, tentang bagaimana NII menafsirkan ayat-ayat al Quran, itu adalah jelas salah, karena penafsirannya telah bertentanagan dengan Islam sendiri, dan keluar dari Ijma ulama. Seperti mengkafirkan orang diluar kelompoknya dan menghalakan mencuri orang diluar kelompoknya. Bagaimana munkin umat Islam zaman sekarang terbatas hanya pada kelompok NII, dan namanya pencurian, baik yang dicuri harta orang muslim atau non muslim (kafir) adalah tetap haram dalam Islam. Tetapi yang aneh, kenapa para korban mudah setuju dengan bujuk rayuan penafsiran al Quran gaya NII. Hal ini dimungkinkan NII di awal, lewat bujuk rayunya, telah berhasil membangkitkan jiwa militan beragama korban dan disertai lemahnya ilmu pengetahuan agama korban, sehingga korban mudah tertarik dan tidak bisa mengkoreksi atau mengkritisi penafsiran al Quran gaya NII tersebut. Karena itu, sasaran NII bukan kalangan santri, yang sebenarnya mereka lebih bersemangat dalam beragama, tetapi hasil pendidikan agama kaum santri di pesantren bisa menjawab atau setidaknya membentengi diri dari rayuan-rayuan menyesatkan berlabel agama. Hal ini terbukti, salah satu korban yang bisa menyelamatkan diri dari cuci otak NII karena bisa menolak argumen NII adalah dulunya pernah belajar lama di pesantren. Bahkan mahasiswa yang aktif di kelompok pengajian kampus masih saja termakan bujuk rayu NII.