Senin, 22-04-2013
“AL-KITAB” DALAM PERSPEKTIF USHUL FIQH
Reportase Lakpesdam NU Yaman
Diskusi Reguler “Ushul Fiqh Studies”
Tarim - Setelah menunggu hampir
satu bulan akhirnya pada hari Senin, 22 April 2013 M, Lakpesdam NU Yaman berhasil
menggelar diskusi “Ushul Fiqh Studies”-nya untuk yang kedua kali. Kajian
reguler yang dicanangkan akan terlaksana setiap dwi-pekanan ini, karena beberapa
hal kendala terpaksa molor dari hari yang telah ditentukan. Ujian bulanan (syahri)
adalah satu diantara sekian penyebab molornya kajian “Ushul Fiqh Studies” kali
ini.
Pada diskusi perdana kemarin
dengan pemateri Nuril Izza mengkaji seputar historisitas berdirinya bangunan Ushul
Fiqh, sebagai gerbang pengantar kajian “Ushul Fiqh Studies”. Dan pada
kesempatan kedua ini, setelah melewati proses rembuk dengan beberapa pihak,
maka disepakatilah untuk menjadikan kitab Jam’ul Jawami’, salah satu
karya monumental Taj al-Din al-Subki, sebagai materi primer dan obyek diskusi.
Dalam diskusi yang berlokasi di
mushalla lantai III asrama baru, al-Quhum, itu tampil sebagai pemateri
Muhammad Fuad Mas’ud, Koordinator Lakpesdam NU Yaman 2012-2014. Sedangkan
moderator dipercayakan kepada Thohirin, salah seorang anggota Lakpesdam. Acara
dimulai sekitar jam 21.00 waktu setempat. Di hadapan para peserta diskusi
kurang lebih dua puluh (20) orang, pemateri memulai paparannya. Ia katakan, sengaja
pengantar dan pembukaan (mukaddimah) dilewatkan, dan langsung menukik pada al-Kitab
al-Awwal (bab pertama) tentang al-Kitab dan pembahasan al-Aqwal.
Dijelaskannya bahwa al-Kitab adalah nama lain atau padanan dari al-Qur’an,
sebagaimana teks Jam’ul Jawami’ bicara. Namun tak dapat disangkal adanya
pendapat sarjana Ushul Fiqh lainnya yang menyatakan perbedaan antara al-Kitab
dan al-Qur’an. Terus saja pemuda asal Sunda ini mengurai benang yang
tampak kusut pada kata-kata al-Subki. Definisi al-Qur’an, pembahasan
basmalah, bacaan (qira’ah) mutawatir dan syadz tidak luput
dari bidikannya. Kalimat demi kalimat ia deskripsikan dengan bahasa khas
Sunda-nya dan sesekali komentar kritik terlontar darinya. Kemudian iapun mengemukakan
pembahasan yang paling menarik –menurutnya- untuk didiskusikan malam ini adalah
sebuah hipotesis al-Subki, sebagaimana diamini oleh banyak sarjana Ushul Fiqh sebelumnya
termasuk al-Razi, yang menyatakan bahwa “dalil-dalil transfersial (naqliyah)
dalam kondisi tertentu, seperti statusnya yang mutawatir atau telah
disaksikan (musyaahadah), bisa saja mengantarkan kepada sebuah keyakinan
(al-yaqiin)”.
Masih menurut mas Fuad, sapaan
akrabnya, sambil menyitir ungkapan al-Buthi dalam bukunya Idz Yugholitunak,
banyak sekali dari orang yang anti Islam (islamophobik), baik orientalis
ataupun bukan, melalui teori ini mencoba menyerang dan meruntuhkan rancang bangunan
hukum Islam yang sudah mapan diyakini. Salah satu contohnya Shalat. Selama ini
seluruh muslim meyakini akan kewajibannya. Kemudian setelah status mutawatir
–misalnya- dihilangkan dari dalil Shalat maka hukum wajibnya Shalat tidak lagi sampai
pada taraf keyakinan, akan tetapi hanya sebatas dugaan spekulatif (dhanni)
belaka, imbuhnya. Iapun mengakhiri presentasinya sampai pembahasan al-mantuq
dan al-mafhum, yang mana pembahasan ini akan didiskusikan pada kesempatan
berikutnya.
Beranjak termin berikutnya, yaitu
sesi kritik seputar penjelasan pemateri terkait redaksi Jam’ul Jawami’
yang kemudian akan didialogkan bersama. Tampak beberapa peserta diskusi begitu
antusias menyambut termin ini. Muncul kritik pertama dari Qusyairi tentang
definisi al-Qur’an yang ditampilkan oleh al-Subki dalam Jam’ul Jawami’-nya.
Menurutnya, kata “lil-i’jaz (untuk melemahkan)” tidaklah begitu sesuai jika
diletakkan dalam definisi al-Qur’an. Alasannya, mukjizat bukanlah bagian dari
hakikat al-Qur’an melainkan hanya sebatas satu diantara tujuan diturunkannya
al-Qur’an. Baragam jawaban beserta apologi muncul dari sana-sini, termasuk dari
pemateri dan semuanya bermuara pada satu lokus yang sama. Intinya, pembentukan
definisi dalam teori Ushul Fiqh tidaklah sama mutlak dengan definisi dalam
istilah ilmu logika, Mantik. Dalam Ushul Fiqh, definisi cukup dengan menyebutkan
sifat-sifat (atribut) yang dapat menbedakan sesuatu yang didefinisikan dari
selainnya. Sedangkan dalam ilmu logika (Mantik), definisi terbagi menjadi tiga
tingkatan, dan salah-satunya sama dengan yang di Ushul Fiqh.
Adalah Fahmi, mahasiswa jurusan
Syariah asal Bali, menguak sebuah fakta bahwa sebenarnya dalam pendefinisian
al-Qur’an sendiri masih problematis diantara sarjana Ushul Fiqh. Dengan
keberadaannya yang sudah jelas berwujud (mutasyahhish) mushaf, –seakan-
tidak perlu lagi untuk didefinisikan. Jadi, motivasi apa sebenarnya yang
mendorong sarjana Ushul Fiqh untuk tetap bersikeras membuat suatu definisi terhadap
al-Qur’an? Dengan mengutip perkataan al-Mahalli, Rohim, mahasiswa asal Jawa
Tengah, dengan logat jowo-nya yang kental, mengungkapkan bahwa tujuan
para sarjana Ushul Fiqh mendefinisikan al-Qur’an ialah untuk sekedar membedakannya
dari “perkataan (kalam)” lain yang tidak bisa dinamakan al-Qur’an. Jawaban
seperti ini pula dipertegas oleh M. Mahrus Ali, salah seorang anggota Dewan
Syuro PCI NU Yaman sekaligus Ketum Fosmaya 2012-2013.
Diskusi berlanjut, beragam otokritik
terhadap redaksi Jam’ul Jawami’-pun digulirkan. Mulai dari penggunaan
diksi yang digunakan al-Subki, beberapa pernyataan yang tampak paradoks dan
tidak ekuivalen antara satu dengan yang lainnya, juga definisi yang perlu
diverifikasi ulang. Suasana diskusi semakin malam kian menghangat dengan
benturan argument-argumen yang sulit terpatahkan, seakan mengalahkan temperatur
udara Tarim yang sudah memasuki musim panas. Tak terasa dua jam telah berlalu,
jam menunjukkan angka 23.00 pertanda waktu diskusi selesai. Sukses selalu buat Lakpesdam
Yaman, semoga kegiatan-kegiatan ilmiah di dalamnya terus menggema. ][
Tidak ada komentar:
Posting Komentar