Laman

Senin, 16 Agustus 2010

Ramadan Sebagai Media Pemersatu Umat

Ahmad Zuhairuz Zaman*)

Bagai kalangan akademis, tentu tidak asing nama-nama besar seperti: Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya. Mereka adalah para filosof besar yang punya pengaruh besar pula terhadap peradaban Barat, namun "hanya" melalui karya tulisnya saja. Sengaja penulis memberi tanda petik pada kalimat "hanya", untuk mengibaratkan kekurang sempurnaan mereka yang boleh jadi mengurangi kebesaran nama mereka. Kelemahan tersebut semakin kentara ketika dibandingkan dengan peran seorang yang dikenal kaumnya sebagai "ummy" atau buta huruf, akan tetapi mampu merubah peradaban paganisme dan jahiliyah Arab secara nyata dan praksis hanya dalam masa 23 tahun saja, tanpa harus menciptakan sabuah karya tulis apapun! Ya, beliau adalah junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Ketika nama-nama besar filosof di atas sekadar mampu menelurkan para sarjana yang berkuantitas minim dan belum cukup untuk merubah peradaban imperium kekaisaran Yunani secara frontal dalam setiap aspek sosialnya, maka Nabi Muhammad saw telah mendidik ratusan ribu para sahabatnya dan tidak hanya dari lingkup satu kota Madinah saja, tetapi seantero Jazirah Arab, bahkan diantara mereka adalah mantan musuh besarnya atau anak keturunan musuh besarnya yang kemudian menjadi pengikut setia dan berkorban demi menegakkan "manhaj ilahi" yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Maka terwujudlah masyarakat unggul yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai "Khoiru Ummah".

Dan salah satu unsur utama ajaran "manhaj ilahi" tersebut adalah rukun Islam yang keempat, yaitu ibadah puasa pada bulan Ramadan. Puasa secara umum, telah banyak penelitian ilmiah yang membahas tentang manfaat dan faedahnya bagi kesehatan jasmani, juga bagi moral dan mental seseorang (tazkiyatun nafsi). Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw sendiri telah bersabda: "Berpuasalah kalian maka akan menyehatkan kalian." Juga dalam hadits lain yang artinya: "Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagian: kebahagian ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya."

Tentunya manfaat tersebut bersifat personal, dan masih terdapat faedah dan hikmah yang bersifat umum, di antaranya adalah Ramadan sebagai media untuk mempererat ukhuwwah umat dalam satu kondisi yang sama-sama dirasakan, yaitu menahan lapar dan dahaga juga hawa nafsu. Bahkan poin penting dalam hakikat puasa dan faedahnya bagi masyarakat umum adalah menahan nafsu, karena dengan menahan nafsu ini diharapkan kondisi spritiual umat kembali fresh dan semakin kuat rasa kasih sayang terhadap sesama muslim. Bagaimana tidak, sementara sebulan penuh kita dituntut lebih untuk saling bersilaturrahmi, ta'awun atau tolong menolong, dan menahan nafsu dan emosi sebagaimana dicontohkan oleh Rasulallah saw. Bahkan beliau saw mewanti-wanti kita untuk menghindari lima perkara pada saat puasa dalam sabdanya, "Ada lima perkara yang membatalkan puasa seseorang: yaitu bohong, ghibah (membicarakan orang lain yang membuatnya tidak senang), mengadu domba, melihat orang lain dengan syahwat dan bersaksi atau bersumpah bohong." Kata membatalkan oleh sebagian ulama diartikan dengan membatalkan pahala puasa, dan sebagian ulama lainnya mengartikannya secara tekstual yang berarti membatalkan puasa secara keseluruhan dan wajib mengqodlonya.

Oleh karena itulah, dalam Fiqh Islami terdapat anjuran untuk menghindari konflik antar personal, seperti ketika seseorang yang tengah berpuasa dipancing emosinya, maka hendaknya ia berkata, "Saya sedang berpuasa," dengan mengucapkannya tiga kali untuk menyadarkan lawan bicaranya agar menghentikan perbuatannya. Ini adalah contoh kecil. Sedangkan fenomena sekarang semakin banyak celah yang berusaha dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk memancing konflik antar umat Islam. Bahkan perbedaan madzhab fiqih juga disalah gunakan untuk memancing fanatisme kelompok sehingga melupakan sisi maslahat arti sebuah perbedaan madzhab dalam permasalahan Furui'yyah. Fanatik buta dalam perbedaan pendapat dalam roka'at sholat tarawih misalnya, tidak seharusnya memperkeruh suasana indah kebersamaan Ramadan.

Yang lebih meresahkan lagi, sebagaimana disebutkan oleh KH. Maimun Zubair dalam Risalah fi Mauqifina haula as-Shaum wa al-Isthar ‘Am 1427 H, adanya pendapat nyeleneh yang dilontarkan sebagian kelompok tentang penentuan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawwal tanpa landasan yang sesuai dengan ijma' (konsensus) madzahib Fiqh Islami. Hal ini tentu sangat tidak diharapkan kemunculannya, karena sangat bertentangan dengan pendapat Ulama Salaf dan membingungkan masyarakat awam bahkan menimbulkan fitnah dalam persatuan umat Islam di luar permasalahan yang meniscayakan adanya ikhtilaf dalam permasalahan furu'iyyah. Allah SWT berfirman: "Barangsiapa menentang Rasul sesudah menjadi jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali"(an-Nisa`: 115). Oleh karena itu, Islam melarang puasa pada hari yang masih diragukan munculnya hilal bulan Ramadan (hari syakk) dan hak pengumuman tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawwal diserahkan pada penguasa muslim setempat. Sahal bin Abdullah at-Tastari mengatakan: "Taatlah kamu kepada penguasa dalam tujuh hal: mata uang yang sah, takaran, timbangan, hukum, haji, shalat jum’at, dua hari raya, dan jihad." (Tafsir al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249)

Maka, sebagai muslim, kita dituntut untuk menjaga sikap dan lebih baik berdiam diri dalam permasalahan yang bukan keahlian kita. Permasalahan agama tentu diserahkan kepada ulama yang berkompeten dalam bidangnya. Allah SWT berfirman: "Bertanyalah kamu sekalian kepada Ahli Dzikr (ulama) jika kamu tidak mengetahui." (an-Nahl: 43).

Inilah makna kebersamaan dalam Ramadan, bulan yang dijuluki oleh Musthofa Shodiq Ar-Rofi'i dalam Wahyul Qolam-nya, sebagai bulan revolusi (syahru tsauroh), laksana sebuah sistem praktis bagi kemanusiaan, melebihi teori propaganda yang sekedar berbaris rapi dalam tulisan buku-buku kaum komunis dan di lain sisi sebagai benteng kokoh menghadapi materialisme kaum kapitalis dunia. Wallahu a'lam.

(*Penulis adalah mahasiswa tinkat IV fakultas Syari'ah wal Qonun Univ. al-Ahgaff, Hadramaut, Yaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar