Laman

Sabtu, 04 Mei 2013

BAHTSUL MASA`AIL "KEBANGSAAN MENUJU INDONESIA YANG BERSIH DAN TERARAH"

Terselenggara atas kerja sama
PCI-NU YAMAN dan AMI AL-AHGAFF
Mushohhih:  Muhammad Zuhair                                      
Perumus            :  Imron Hamzah
                  Muhammad Mahrus Ali
                              Nuril Izza Muzakky
Moderator          : Ahmad Wahid                               
Notulen               : Ahmad Rijal Romadlon
                               Iqbal Munawwar
               



HASIL KEPUTUSAN
Kampanye Hitam (Black Campaign)

Deskripsi masalah:
kampanye diartikan sebagai sebuah tindakan doktet/pencitraan yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan. Usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna memengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian. Dalam sistem politik demokrasi, kampanye politis berdaya mengacu pada kampanye elektoral pencapaian dukungan, di mana wakil terpilih atau referenda diputuskan. Kampanye politis tindakan politik berupaya meliputi usaha terorganisir untuk mengubah kebijakan di dalam suatu institusi (lihat: Wikipedia).
Dalam praktenya kampanye terbagi menjadi dua kriteria, kampanye putih (positif­) dan kampanye hitam (negatif). KPU memberikan kesempatan kepada setiap partai atau calon untuk melakukan kampanye secara sehat (kampanye putih), namun di lapangan hal tersebut terkadang tidak diindahkan oleh aktor politik. Atas dasar efisiensi, banyak diantara mereka menggunakan cara kampanye yang tidak sehat (kampanye hitam).
 Penggunaan metode rayuan yang merusak, sindiran atau rumors yang tersebar mengenai sasaran kepada para kandidat atau calon kepada masyarakat agar menimbulkan presepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam hal kebijakan publik. komunikasi ini diusahakan agar menimbulkan fenomena sikap resistensi dari para pemilih, kampanye hitam umumnya dapat dilakukan oleh kandidat atau calon bahkan pihak lain secara efisien karena kekurangan sumber daya yang kuat untuk menyerang salah satu kandidat atau calon lain dengan bermain pada permainan emosi para pemilih agar pada akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon pilihannya.
Penggunaan peraga kampanye yang tidak sah atau bukan berasal dari kebijakan atau termasuk dalam bagian material dari kampanye peserta pemilu yaitu pihak para kandidat sebagai peserta pemilu maka dengan demikian kampanye yang ilegal merupakan sebuah kampanye yang melanggar ketentuan hukum (kampanye hitam).
  Persaingan panas politik di indonesia saat ini merupakan sebuah fenomena dan isu paling hangat yang sering diekspose oleh seluruh kalangan. Dua tahun kedepan panggung politik di negara kita akan sangat ramai dengan berbagai macam berita, apalagi dengan akan dimulainya pilkada, pileg dan pilpres. Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa seluruh aktor politik yang terlibat dalam hajatan nasional tersebut akan menggunakan segala macam cara untuk memenangkan dan mensukseskan calon-calonya.
 Cara yang digunakan untuk mensukseskan tim dari setiap calonpun sangat beragam, mulai dari yang bersifat positif seperti Memabagi-bagikan uang dan sembako, kaos atau baju partai, memasang lambang partai atau calon yang diusungnya di tempat-tempat umum dan lain-lainnya. Namun selain cara yang bersifat positif, para oknum politik juga terkadang menggunakan cara yang radikal atau negatif seperti   menyebarkan isu negatif terhadap salah satu calon dan saling membuka aib dari setiap calon.
Kekuatan finansial sebuah partai atau seorang calon masih mendominasi panggung politik praktis di indonesia. Artinya, semakin besar dana yang dimiliki oleh mesin partai, maka kesempatan berkampanye melalui media masa sangat mudah untuk dilakukan. Pengaruh besar media masa – cetak atau elektronik – dalam merubah sebuah opini publik saat ini, ternyata dirasa sangat efektif untuk dijadikan sebagai media berkampanye oleh para politikus. Alhasil, media masa merupakan sarana untuk menjadikan sebuah partai atau seorang calon menjadi tranding topik di masyarakat. Berkampanye melalui media masa sangat bervariasi seperti ajakan secara langsung untuk memilih partai atau calon A, mengkritiki program kerja calon incumbent melalui sebuah treatikal drama dan hasutan-hasutan yang bersifat personalia seperti menyebarakan isu SARA.

 Pertanyaan:
1.        Bagaimana islam memandang tentang kampanye secara umum? Jika dalam ajaran islam kampanye merupakan salah satu syiasah sar’iah, kampanye seperti apa yang ideal dalam ajaran islam?
2.        Apakah hukumya kampanye hitam? Jika hukumnya haram, legalkah kepemimpinan yang dimenangkan melalui kampanye hitam dalam pandangan islam?
3.        Jika membagikan uang dan sembako sebagai sebuah kedok kampanye salah satu salon merupakan bagian dari kampanye hitam, apa hukum menerima pemberian seperti itu?  
4.        Apakah pembentukan opini publik melalui media masa merupakan bagian dari kampanye hitam?           
{Panitia Pelaksana}
Rumusan jawaban:

Istilah kampanye menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. Sementara itu, Rogers dan Storey (1987) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu” (Venus, 2004:7). Sedangkan kampanye menurut UU No 32 Tahun 2004 disebutkan sebagai kegiatan dalam rangka menyakinkan para pemilih dengan menawarkan misi, visi, dan program pasangan calon. Dengan demikian, kampanye, jika merujuk ke UU ini harus memenuhi tiga unsur kegiatan pasangan calon, yakni meyakinkan para pemilih, dan menawarkan misi, visi dan program.
Dalam konteks hukum fikih, tidak ditemukan padanan yang sesuai dengan arti kata ‘kampanye.’ Meski demikian, tidak lantas hukum fikih dengan latah menolak kegiatan kampanye ini. Alih-alih menolak, fikih klasik justru mengakomodirnya selama tidak berbenturan dengan maqosid syariah dan ajaran syariah Islam. Hal ini terbukti dengan bertebarannya praktik kampanye sejak zaman dahulu walaupun tidak diistilahkan secara khusus. Jadi, secara umum, Islam mengakui legalitas kampanye.
Sedangkan kampanye yang ideal adalah kampanye yang dilakukan secara bijak, ikhlas dan tidak melanggar aturan agama dan undang-undang pemilu pasal 86 tentang larangan dalam kampanye.
Larangan dalam kampanye yang diatur pasal 86 UU PEMILU adalah sebagai berikut:
Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang:
Pelaksana,  peserta,  dan  petugas  Kampanye  Pemilu
dilarang:
a.  mempersoalkan  dasar  negara  Pancasila,  Pembukaan Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia Tahun  1945,  dan  bentuk  Negara  Kesatuan  Republik
Indonesia.
b.  melakukan  kegiatan  yang  membahayakan  keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c.  menghina  seseorang,  agama,  suku,  ras,  golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.
d.  menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
e.  mengganggu ketertiban umum;
f.  mengancam  untuk  melakukan  kekerasan  atau menganjurkan  penggunaan  kekerasan  kepada seseorang,  sekelompok  anggota  masyarakat,  dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g.  merusak  dan/atau  menghilangkan  alat  peraga kampanye Peserta Pemilu;
h.  menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
i.  membawa  atau  menggunakan  tanda  gambar  dan/atau atribut  selain  dari  tanda  gambar  dan/atau  atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j.  menjanjikan  atau  memberikan  uang  atau  materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.
Referensi:
1.     Nihayat al-muhtaj, vol: 7, hal: 408
2.     Al-mausu`ah al-fiqhiyah al- kuwaitiyah, vol: 33, hal: 287.
3.     Fath al-bari syarh shohih al-bukhory, vol : 1, hal: 137.
4.     Bahjah qulub al-abror wa qurrot uyun al-akhyar fi syarh jawami` al-akhbar,vol: 1, hal: 315
5.     Al-furuq lil qorofy, vol: 2, hal: 33.

Redaksi referensi :
1.    نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (7/ 409)
(فَصْلٌ) فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ
وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَأْتِي فِيهَا أَقْسَامُهُ الْآتِيَةُ مِنْ طَلَبٍ وَقَبُولٍ، وَعَقَّبَ الْبُغَاةَ بِهَذَا؛ لِأَنَّ الْبَغْيَ خُرُوجٌ عَلَى الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ الْقَائِمِ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا وَمِنْ ثَمَّ اُشْتُرِطَ فِيهِ مَا شُرِطَ فِي الْقَاضِي وَزِيَادَةٌ كَمَا قَالَ (شَرْطُ الْإِمَامِ كَوْنُهُ مُسْلِمًا) لِيُرَاعِيَ مَصْلَحَةَ الْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ (مُكَلَّفًا) ؛ لِأَنَّ غَيْرَهُ مُوَلًّى عَلَيْهِ فَلَا يَلِي أَمْرَ غَيْرِهِ.
النوائب ، وقمع الظالم ونصر المظلوم ، وقطع الخصومات ، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، وفيه وضع الشيء في محله ، ليكف الظالم عن ظلمه (1) .

2.     الموسوعة الفقهية الكويتية (33/287)
ذهب جمهور الفقهاء إلى أنه يكره للإنسان طلب القضاء والسعي في تحصيله ، لما روى أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : " من ابتغى القضاء وسأل فيه شفعاء وكل إلى نفسه ، ومن أكره عليه أنزل الله عليه ملكا يسدده " ، لكن بعض الفقهاء يقيد الكراهة هنا بوجود من هو أفضل من طالب القضاء ممن هو قادر على القيام به ويرضى بأن يتولاه ، وقيل : بل يحرم عليه الطلب إن كان غيره أصلح للقضاء ، وكان الأصلح يقبل التولية .
فإن تعين شخص للقضاء بأن لم يصلح غيره لزمه طلبه إن لم يعرض عليه ، وذلك لحاجة الناس إليه ، ومحل وجوب الطلب إذا ظن الإجابة فإن تحقق أو غلب على ظنه عدمها لم يلزمه ، ويندب الطلب إن كان خاملا يرجو به نشر العلم أو محتاجا للرزق .

3.    فتح الباري شرح صحيح البخاري  ج 1 / ص 137.
والنصيحة لعامة المسلمين الشفقة عليهم والسعي فيما يعود نفعه عليهم وتعليمهم ما ينفعهم وكف وجوه الأذى عنهم وأن يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره لهم ما يكره لنفسه

4.    بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار ج 1 / ص 315.
الحديث الثامن والتسعون
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إنما الناس كالإبل المائة ، لا تكاد تجد فيها راحلة » . متفق عليه .هذا الحديث مشتمل على خبر صادق ، وإرشاد نافع .أما الخبر ، فإنه صلى الله عليه وسلم أخبر أن النص شامل لأكثر الناس ، وأن الكامل - أو مقارب الكمال - فيهم قليل ، كالإبل المائة ، تستكثرها ، فإذا أردت منها راحلة تصلح للحمل والركوب ، والذهاب والإياب ، لم تكد تجدها ، وهكذا الناس كثير ، فإذا أردت أن تنتخب منهم من يصلح للتعليم أو الفتوى أو الإمامة ، أو الولايات الكبار أو الصغار ، أو الوظائف المهمة ، لم تكد تجد من يقوم بتلك الوظيفة قياما صالحا ، وهذا هو الواقع ، فإن الإنسان ظلوم جهول ، والظلم والجهل سبب للنقائص ، وهي مانعة من الكمال والتكميل .
وأما الإرشاد ، فإن مضمون هذا الخبر إرشاد منه صلى الله عليه وسلم إلى أنه ينبغي لمجموع الأمة أن يسعوا ، ويجتهدوا في تأهيل الرجال الذين يصلحون للقيام بالمهمات ، والأمور الكلية العامة النفع .

5.    الفروق للقرافي (2 / 33)
(تَنْبِيهٌ) اعْلَمْ أَنَّ الذَّرِيعَةَ كَمَا يَجِبُ سَدُّهَا يَجِبُ فَتْحُهَا وَتُكْرَهُ وَتُنْدَبُ وَتُبَاحُ فَإِنَّ الذَّرِيعَةَ هِيَ الْوَسِيلَةُ فَكَمَا أَنَّ وَسِيلَةَ الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ فَوَسِيلَةُ الْوَاجِبِ وَاجِبَةٌ كَالسَّعْيِ لِلْجُمُعَةِ وَالْحَجِّ. وَمَوَارِدُ الْأَحْكَامِ عَلَى قِسْمَيْنِ مَقَاصِدُ وَهِيَ الْمُتَضَمِّنَةُ لِلْمَصَالِحِ وَالْمَفَاسِدِ فِي أَنْفُسِهَا، وَوَسَائِلُ وَهِيَ الطُّرُقُ الْمُفْضِيَةُ إلَيْهَا وَحُكْمُهَا حُكْمُ مَا أَفَضْت إلَيْهِ مِنْ تَحْرِيمٍ وَتَحْلِيلٍ غَيْرَ أَنَّهَا أَخْفَضُ رُتْبَةً مِنْ الْمَقَاصِدِ فِي حُكْمِهَا وَالْوَسِيلَةُ إلَى أَفْضَلِ الْمَقَاصِدِ أَفْضَلُ الْوَسَائِلِ وَإِلَى أَقْبَحِ الْمَقَاصِدِ أَقْبَحُ الْوَسَائِلِ وَإِلَى مَا يُتَوَسَّطُ مُتَوَسِّطَةٌ وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى حُسْنِ الْوَسَائِلِ الْحَسَنَةِ قَوْله تَعَالَى {ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلا إِلا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ} [التوبة: 120] فَأَثَابَهُمْ اللَّهُ عَلَى الظَّمَأِ وَالنَّصَبِ وَإِنْ لَمْ يَكُونَا مِنْ فِعْلِهِمْ بِسَبَبِ أَنَّهُمَا حَصَلَا لَهُمْ بِسَبَبِ التَّوَسُّلِ إلَى الْجِهَادِ الَّذِي هُوَ وَسِيلَةٌ لِإِعْزَازِ الدِّينِ وَصَوْنِ الْمُسْلِمِينَ فَيَكُونُ الِاسْتِعْدَادُ وَسِيلَةَ الْوَسِيلَةِ.
Soal kedua sub. A: Apakah hukumya kampanye hitam?
Rumusan jawaban:
Istilah kampanye hitam adalah terjemahan dari bahasa inggris black champagne yang bermakna berkampanye secara buruk atau jahat. Buruk atau jahat dalam pengertian merugikan orang lain atau lawan politik atau partai politik (parpol) lain, sedangkan si empunya kampanye hitam itu berharap dirinya atau partainya mendapatkan keuntungan. Kampanye hitam ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya dengan menyebarkan kejelekan atau keburukan tentang seorang politikus, menyebarkan cerita bohong, menghina yang menjurus pada suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), adu domba, hasut dan fitnah lainnya.
Jika demikian, maka hukum  dari kampanye hitam adalah haram. Karena dalam kampanye hitam itu terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh Islam, seperti mengadu domba (namîmah), menggunjing (ghîbah), berdusta (kidzib), merendahkan orang (at-tahqîr), membuka aib orang lain (kasyfu auratil muslimin) dan lain sebagainya.  Namun ada beberapa hal yang dikecualikan, seperti membuka aib calon yang dipandang akan merugikan umat Islam jika dia terpilih sebagai pemimpin. Hanya saja, amat penting untuk diingatkan bahwa pengecualian ini tidak boleh dibajak untuk kepentingan pribadi para calon. Tindakan terakhir ini, tidak saja dinilai berdosa karena telah membuka aib orang lain tetapi juga karena telah menggunakan teks-teks agama tidak sesuai dengan maksud yang sebenarnya.
Dari sudut pandang konstitusi pun, kampanye hitam melanggar  Pasal 78 ayat 2 yang menyebutkan bahwa dalam kampanye dilarang menghina seseorang dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Pada pasal 78 ayat 3, kampanye melarang untuk menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan dan/atau kelompok masyarakat. Sedangkan patuh pada aturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan syara’ dan berdampak kemalahatan umum diwajibkan oleh syara’, sehingga kewajiban negara merupakan kewajiban syara’ dan larangan negara merupakan larangan syara’.
Referensi:
1.     Ihya al-ulum al-din, vol: 2, hal: 332
2.     Riyadl al-solihin, vol: 2, hal: 182.
3.     Ghoyat al-wushul syarh lubb al-ushul, hal:
4.     Bughyat al-mustarsyidin, hal: 91.
Redaksi referensi:
1.    إحياء علوم الدين - (ج 2 / ص 332)
فنقول: الكلام وسيلة إلى المقاصد فكل مقصود محمود يمكن التوصل إليه بالصدق والكذب جميعاً فالكذب فيه حرام، وإن أمكن التوصل إليه بالكذب دون الصدق فالكذب فيه مباح إن كان تحصيل ذلك القصد مباحاً، وواجب إن كان المقصود واجباً، كما أن عصمة دم المسلم واجبة. فمهما كان في الصدق سفك دم امرئ مسلم قد اختفى من ظالم فالكذب فيه واجب. ومهما كان لا يتم مقصود الحرب أو إصلاح ذات البين أن استمالة قلب المجني عليه إلا بكذب فالكذب مباح، إلا أنه ينبغي أن يحترز منه ما أمكن، لأنه إذا فتح باب الكذب على نفسه فيخشى أن يتداعى إلى ما يستغنى عنه وإلى ما لا يقتصر على حد الضرورة، فبكون الكذب حراماً في الأصل إلا لضرورة.

2.    رياض الصالحين - (ج 2 / ص 182)
 باب ما يباح من الغيبة
اعلم أن الغيبة تباح لغرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها ، وهو ستة أسباب : -إلى أن قال- ومنها : أن يكون له ولاية لا يقوم بها على وجهها : إما بأن لا يكون صالحا لها ، وإما بأن يكون فاسقا ، أو مغفلا ، ونحو ذلك فيجب ذكر ذلك لمن له عليه ولاية عامة ليزيله ، ويولي من يصلح ، أو يعلم ذلك منه ليعامله بمقتضى حاله ، ولا يغتر به ، وأن يسعى في أن يحثه على الاستقامة أو يستبدل به .
3.    غاية الوصول في شرح لب الأصول
(ونميمة) وهي نقل كلام بعض الناس إلى بعض على وجه الإفساد بينهم لخبر الصحيحين «لا يدخل الجنة نمام». بخلاف نقل الكلام نصيحة للمنقول إليه كما في قوله تعالى حكاية {يا موسى إنّ الملأ يأتمرون بك ليقتلوك} فإنه واجب، أما الغيبة وهي ذكرك لإنسان بما تكرهه وإن كان فيه فصغيرة قاله صاحب العدة، وأقرّه الرافعي ومن تبعه لعموم البلوى بها. نعم قال القرطبي في تفسيره إنها كبيرة بلا خلاف، ويشملها تعريف الأكثر الكبيرة بما توعد عليه بخصوصه قال تعالى {أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا} قال الزركشي وقد ظفرت بنص الشافعي في ذلك، فالقول بأنها صغيرة ضعيف أو باطل.

4.    بغية المسترشدين ص : 91  دار الفكر
(مسألة ك) يجب امتثال أمر الإمام فى كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه فى مصارفه وإن كان المأمور به مباحا أو مكروها أو حراما لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله م ر وتردد فيه فى التحفة ثم مال إلى الوجوب فى كل ما أمر به الإمام ولو محرما لكن ظاهرا فقط وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهرا وباطنا وإلا فظاهرا فقط أيضا والعبرة فى المندوب والمباح بعقيدة المأمور ومعنى قولهم ظاهرا أنه لا يأثم بعدم الامتثال ومعنى باطنا أنه يأثم اهـ قلت وقال ش ق والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهرا وباطنا مما ليس بحرام أو مكروه فالواجب يتأكد والمندوب يجب وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوى الهيآت وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادى بعدم شرب الناس له فى الأسواق والقهاوى فخالفوه وشربوا فهم العصاة ويحرم شربه الآن امتثالا لأمره ولو أمر الإمام بشىء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.

“AL-KITAB” DALAM PERSPEKTIF USHUL FIQH

Senin, 22-04-2013
“AL-KITAB” DALAM PERSPEKTIF USHUL FIQH

Reportase Lakpesdam NU Yaman
Diskusi Reguler “Ushul Fiqh Studies”
Tarim - Setelah menunggu hampir satu bulan akhirnya pada hari Senin, 22 April 2013 M, Lakpesdam NU Yaman berhasil menggelar diskusi “Ushul Fiqh Studies”-nya untuk yang kedua kali. Kajian reguler yang dicanangkan akan terlaksana setiap dwi-pekanan ini, karena beberapa hal kendala terpaksa molor dari hari yang telah ditentukan. Ujian bulanan (syahri) adalah satu diantara sekian penyebab molornya kajian “Ushul Fiqh Studies” kali ini.

Pada diskusi perdana kemarin dengan pemateri Nuril Izza mengkaji seputar historisitas berdirinya bangunan Ushul Fiqh, sebagai gerbang pengantar kajian “Ushul Fiqh Studies”. Dan pada kesempatan kedua ini, setelah melewati proses rembuk dengan beberapa pihak, maka disepakatilah untuk menjadikan kitab Jam’ul Jawami’, salah satu karya monumental Taj al-Din al-Subki, sebagai materi primer dan obyek diskusi.

Dalam diskusi yang berlokasi di mushalla lantai III asrama baru, al-Quhum, itu tampil sebagai pemateri Muhammad Fuad Mas’ud, Koordinator Lakpesdam NU Yaman 2012-2014. Sedangkan moderator dipercayakan kepada Thohirin, salah seorang anggota Lakpesdam. Acara dimulai sekitar jam 21.00 waktu setempat. Di hadapan para peserta diskusi kurang lebih dua puluh (20) orang, pemateri memulai paparannya. Ia katakan, sengaja pengantar dan pembukaan (mukaddimah) dilewatkan, dan langsung menukik pada al-Kitab al-Awwal (bab pertama) tentang al-Kitab dan pembahasan al-Aqwal. Dijelaskannya bahwa al-Kitab adalah nama lain atau padanan dari al-Qur’an, sebagaimana teks Jam’ul Jawami’ bicara. Namun tak dapat disangkal adanya pendapat sarjana Ushul Fiqh lainnya yang menyatakan perbedaan antara al-Kitab dan al-Qur’an. Terus saja pemuda asal Sunda ini mengurai benang yang tampak kusut pada kata-kata al-Subki. Definisi al-Qur’an, pembahasan basmalah, bacaan (qira’ah) mutawatir dan syadz tidak luput dari bidikannya. Kalimat demi kalimat ia deskripsikan dengan bahasa khas Sunda-nya dan sesekali komentar kritik terlontar darinya. Kemudian iapun mengemukakan pembahasan yang paling menarik –menurutnya- untuk didiskusikan malam ini adalah sebuah hipotesis al-Subki, sebagaimana diamini oleh banyak sarjana Ushul Fiqh sebelumnya termasuk al-Razi, yang menyatakan bahwa “dalil-dalil transfersial (naqliyah) dalam kondisi tertentu, seperti statusnya yang mutawatir atau telah disaksikan (musyaahadah), bisa saja mengantarkan kepada sebuah keyakinan (al-yaqiin)”.

Masih menurut mas Fuad, sapaan akrabnya, sambil menyitir ungkapan al-Buthi dalam bukunya Idz Yugholitunak, banyak sekali dari orang yang anti Islam (islamophobik), baik orientalis ataupun bukan, melalui teori ini mencoba menyerang dan meruntuhkan rancang bangunan hukum Islam yang sudah mapan diyakini. Salah satu contohnya Shalat. Selama ini seluruh muslim meyakini akan kewajibannya. Kemudian setelah status mutawatir –misalnya- dihilangkan dari dalil Shalat maka hukum wajibnya Shalat tidak lagi sampai pada taraf keyakinan, akan tetapi hanya sebatas dugaan spekulatif (dhanni) belaka, imbuhnya. Iapun mengakhiri presentasinya sampai pembahasan al-mantuq dan al-mafhum, yang mana pembahasan ini akan didiskusikan pada kesempatan berikutnya.

Beranjak termin berikutnya, yaitu sesi kritik seputar penjelasan pemateri terkait redaksi Jam’ul Jawami’ yang kemudian akan didialogkan bersama. Tampak beberapa peserta diskusi begitu antusias menyambut termin ini. Muncul kritik pertama dari Qusyairi tentang definisi al-Qur’an yang ditampilkan oleh al-Subki dalam Jam’ul Jawami’-nya. Menurutnya, kata “lil-i’jaz (untuk melemahkan)” tidaklah begitu sesuai jika diletakkan dalam definisi al-Qur’an. Alasannya, mukjizat bukanlah bagian dari hakikat al-Qur’an melainkan hanya sebatas satu diantara tujuan diturunkannya al-Qur’an. Baragam jawaban beserta apologi muncul dari sana-sini, termasuk dari pemateri dan semuanya bermuara pada satu lokus yang sama. Intinya, pembentukan definisi dalam teori Ushul Fiqh tidaklah sama mutlak dengan definisi dalam istilah ilmu logika, Mantik. Dalam Ushul Fiqh, definisi cukup dengan menyebutkan sifat-sifat (atribut) yang dapat menbedakan sesuatu yang didefinisikan dari selainnya. Sedangkan dalam ilmu logika (Mantik), definisi terbagi menjadi tiga tingkatan, dan salah-satunya sama dengan yang di Ushul Fiqh.

Adalah Fahmi, mahasiswa jurusan Syariah asal Bali, menguak sebuah fakta bahwa sebenarnya dalam pendefinisian al-Qur’an sendiri masih problematis diantara sarjana Ushul Fiqh. Dengan keberadaannya yang sudah jelas berwujud (mutasyahhish) mushaf, –seakan- tidak perlu lagi untuk didefinisikan. Jadi, motivasi apa sebenarnya yang mendorong sarjana Ushul Fiqh untuk tetap bersikeras membuat suatu definisi terhadap al-Qur’an? Dengan mengutip perkataan al-Mahalli, Rohim, mahasiswa asal Jawa Tengah, dengan logat jowo-nya yang kental, mengungkapkan bahwa tujuan para sarjana Ushul Fiqh mendefinisikan al-Qur’an ialah untuk sekedar membedakannya dari “perkataan (kalam)” lain yang tidak bisa dinamakan al-Qur’an. Jawaban seperti ini pula dipertegas oleh M. Mahrus Ali, salah seorang anggota Dewan Syuro PCI NU Yaman sekaligus Ketum Fosmaya 2012-2013.

Diskusi berlanjut, beragam otokritik terhadap redaksi Jam’ul Jawami’-pun digulirkan. Mulai dari penggunaan diksi yang digunakan al-Subki, beberapa pernyataan yang tampak paradoks dan tidak ekuivalen antara satu dengan yang lainnya, juga definisi yang perlu diverifikasi ulang. Suasana diskusi semakin malam kian menghangat dengan benturan argument-argumen yang sulit terpatahkan, seakan mengalahkan temperatur udara Tarim yang sudah memasuki musim panas. Tak terasa dua jam telah berlalu, jam menunjukkan angka 23.00 pertanda waktu diskusi selesai. Sukses selalu buat Lakpesdam Yaman, semoga kegiatan-kegiatan ilmiah di dalamnya terus menggema. ][

Minggu, 20 November 2011

MENGUJI KESABARAN

 Dhofirul Yahya*)

Setiap manusia tentunya mempunyai tingkat kesabaran yang berbeda-beda, dan tiap kesabaran itu sangat berpengaruh sekali terhadap diri seseorang dalam menjalankan hidupnya, dalam menata tatanan hidupnya,  dalam interaksi antar sesama, serta dalam interaksi dia kepada tuhannya, tuhan yang menciptakan dan memberikan kelangsungan hidup pada dirinya, yang mana dia selalu diberi rizki yang tidak terhitung nilainya, sebagaimana di firmankan Alloh SWT:

 "Dan jika kamu menghitung ni'mat Alloh, tidaklah kamu akan mampu menghinggakannya, sesungguhnya manusia itu sangat dzolim dan sangat mengingkari (ni'mat Alloh)". (QS: Ibrahim:34). 

Dengan kesabaran dia dapat mengendalikan dirinya. Dengan sifat sabar juga mahluk disekelilingnya menjadi senang dan selalu sayang kepadanya. Dimana Sabar dapat membuahkan ketentraman pada diri juga mahluk sekitarnya, dapat membuahkan sifat rahmah kasih sayang kepada mahluk dan alam sekelilingnya, oleh sebab itu yang dilangitpun juga akan menyayanginya, sebagaimana sabda Nabi SAW:

" Berilah kasih sayang pada orang-orang yang ada di atas bumi maka mahluk yang dilangit akan memberikan kasih sayang padamu".

  Alangkah mulyanya Orang yang bersabar dimata semua mahluk, lebih-lebih dalam pandangan Alloh, dimana Alloh SWT akan selalu menyukai orang-orang yang bersabar, karna sifat sabar adalah sifat para nabi dan rasul-rasul Nya, sifat para kekasih pilihan Nya. Dengan sabar derajat seorang dapat terangkat disisi Alloh dan Ia akan sesalu bersamaNya, sebagaimana telah di tuturkan dalam firmannya:

Senin, 07 November 2011

Korelasi antara Ditutupnya Pintu Kenabian dan Kesempurnaan Islam

Oleh: Zarnuzi Ghufron *)

Muqodimah
Nabi Muhammad saw selain sebagai nabi dan rasul, beliau juga adalah sebagai penutup para nabi (Khotamun Nabiyiin) sehingga risalah (kerasulan) beliau menjadi penutup risalah para rasul, karena nubuwah (kenabian) telah ditutup, sedangkan setiap rosul adalah pasti nabi. Oleh karena itu, tidak akan ada syariat baru setelah syariat Nabi Muhammad saw.

Di dalam agama Islam, keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai nabi yang terakhir adalah bagian dari pondasi agama, sehingga orang yang mengingkari keyakinan ini bisa menjadi kafir dan keluar dari agam Islam . Keyakinan ini selain berdasar pada al-Quran dan Hadis Mutawatir, juga telah menjadi Ijma para sahabat nabi dan para ulama. Oleh karena itu, para sahabat nabi semuanya sepakat untuk memerangi Musailamah al-Kazhab dan menghukuminya sebagai orang murtad dan kafir dikarenakan dirinya mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad dan dia menolak untuk diajak bertobat. Dan tidak ada satupun dari sahabat nabi yang keluar dari kesepakatan tersebut. Musailamah adalah orang pertama yang mencoba membuka pintu kenabian di dalam Syariat Nabi Muhammad, dan setiap nabi palsu di zaman setelahnya adalah mengikuti jejak dirinya . Gelar al-Kazab (Sang Pembohong) yang disandang Musailamah adalah gelar yang diberikan oleh Nabi Muhammad kepadanya, hal ini adalah sebagai salah satu bukti bahwa nabi mengingkari pengakuan Musailamah sebagai nabi.

Minggu, 01 Mei 2011

Anti Madzhab dan Pintu-Pintu Radikalisme

Oleh: Ghufron bin Mutsani

Akhir-akhir ini, sering kita dengar banyaknya mahasiswa yang menjadi korban cuci otak dan direkrut menjadi anggota sebuah kelompok, yang diisukan bahwa kelompok tersebut adalah NII. Jika kita mendegar cerita para korban, NII merekrut korban dengan memanfatkan dalil ayat-ayat al Quran sebagai jalan kelompoknya untuk membenarkan argumennya dan juga sebagai cara menarik korban untuk ikut menjadi anggotanya. Setelah korban tertarik dan mau menjadi kelompoknya, korban ditariki iuran dan bahkan NII menghalalkan mencuri uang dari orang di luar kelompoknya. Karena menurt mereka, orang diluar kelompoknya adalah kafir, walaupun orang tersebut sebenarnya adalah orang muslim. Karena itu, menurut mereka, hartanya halal untuk diambil.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa korbannya mahasiswa dan kenapa korban mudah percaya dengan panafsiran al Quran gaya NII. Diantara kemungkinannya adalah karena mahasiswa adalah masih muda, sehingga masih mudah dibangkitkan militansinya, dan penggunaan ayat-ayat al Quran oleh NII adalah karena kedekatan emosional dan rasa percaya mahasiswa muslim dengan kitab sucinya tersebut sebagai dasar argumen, walaupun penafsiran-penafsiran NII belum tentu benar. Bahkan jika melihat cerita para korban diatas, tentang bagaimana NII menafsirkan ayat-ayat al Quran, itu adalah jelas salah, karena penafsirannya telah bertentanagan dengan Islam sendiri, dan keluar dari Ijma ulama. Seperti mengkafirkan orang diluar kelompoknya dan menghalakan mencuri orang diluar kelompoknya. Bagaimana munkin umat Islam zaman sekarang terbatas hanya pada kelompok NII, dan namanya pencurian, baik yang dicuri harta orang muslim atau non muslim (kafir) adalah tetap haram dalam Islam. Tetapi yang aneh, kenapa para korban mudah setuju dengan bujuk rayuan penafsiran al Quran gaya NII. Hal ini dimungkinkan NII di awal, lewat bujuk rayunya, telah berhasil membangkitkan jiwa militan beragama korban dan disertai lemahnya ilmu pengetahuan agama korban, sehingga korban mudah tertarik dan tidak bisa mengkoreksi atau mengkritisi penafsiran al Quran gaya NII tersebut. Karena itu, sasaran NII bukan kalangan santri, yang sebenarnya mereka lebih bersemangat dalam beragama, tetapi hasil pendidikan agama kaum santri di pesantren bisa menjawab atau setidaknya membentengi diri dari rayuan-rayuan menyesatkan berlabel agama. Hal ini terbukti, salah satu korban yang bisa menyelamatkan diri dari cuci otak NII karena bisa menolak argumen NII adalah dulunya pernah belajar lama di pesantren. Bahkan mahasiswa yang aktif di kelompok pengajian kampus masih saja termakan bujuk rayu NII.