Laman

Sabtu, 04 Mei 2013

BAHTSUL MASA`AIL "KEBANGSAAN MENUJU INDONESIA YANG BERSIH DAN TERARAH"

Terselenggara atas kerja sama
PCI-NU YAMAN dan AMI AL-AHGAFF
Mushohhih:  Muhammad Zuhair                                      
Perumus            :  Imron Hamzah
                  Muhammad Mahrus Ali
                              Nuril Izza Muzakky
Moderator          : Ahmad Wahid                               
Notulen               : Ahmad Rijal Romadlon
                               Iqbal Munawwar
               



HASIL KEPUTUSAN
Kampanye Hitam (Black Campaign)

Deskripsi masalah:
kampanye diartikan sebagai sebuah tindakan doktet/pencitraan yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan. Usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna memengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian. Dalam sistem politik demokrasi, kampanye politis berdaya mengacu pada kampanye elektoral pencapaian dukungan, di mana wakil terpilih atau referenda diputuskan. Kampanye politis tindakan politik berupaya meliputi usaha terorganisir untuk mengubah kebijakan di dalam suatu institusi (lihat: Wikipedia).
Dalam praktenya kampanye terbagi menjadi dua kriteria, kampanye putih (positif­) dan kampanye hitam (negatif). KPU memberikan kesempatan kepada setiap partai atau calon untuk melakukan kampanye secara sehat (kampanye putih), namun di lapangan hal tersebut terkadang tidak diindahkan oleh aktor politik. Atas dasar efisiensi, banyak diantara mereka menggunakan cara kampanye yang tidak sehat (kampanye hitam).
 Penggunaan metode rayuan yang merusak, sindiran atau rumors yang tersebar mengenai sasaran kepada para kandidat atau calon kepada masyarakat agar menimbulkan presepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam hal kebijakan publik. komunikasi ini diusahakan agar menimbulkan fenomena sikap resistensi dari para pemilih, kampanye hitam umumnya dapat dilakukan oleh kandidat atau calon bahkan pihak lain secara efisien karena kekurangan sumber daya yang kuat untuk menyerang salah satu kandidat atau calon lain dengan bermain pada permainan emosi para pemilih agar pada akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon pilihannya.
Penggunaan peraga kampanye yang tidak sah atau bukan berasal dari kebijakan atau termasuk dalam bagian material dari kampanye peserta pemilu yaitu pihak para kandidat sebagai peserta pemilu maka dengan demikian kampanye yang ilegal merupakan sebuah kampanye yang melanggar ketentuan hukum (kampanye hitam).
  Persaingan panas politik di indonesia saat ini merupakan sebuah fenomena dan isu paling hangat yang sering diekspose oleh seluruh kalangan. Dua tahun kedepan panggung politik di negara kita akan sangat ramai dengan berbagai macam berita, apalagi dengan akan dimulainya pilkada, pileg dan pilpres. Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa seluruh aktor politik yang terlibat dalam hajatan nasional tersebut akan menggunakan segala macam cara untuk memenangkan dan mensukseskan calon-calonya.
 Cara yang digunakan untuk mensukseskan tim dari setiap calonpun sangat beragam, mulai dari yang bersifat positif seperti Memabagi-bagikan uang dan sembako, kaos atau baju partai, memasang lambang partai atau calon yang diusungnya di tempat-tempat umum dan lain-lainnya. Namun selain cara yang bersifat positif, para oknum politik juga terkadang menggunakan cara yang radikal atau negatif seperti   menyebarkan isu negatif terhadap salah satu calon dan saling membuka aib dari setiap calon.
Kekuatan finansial sebuah partai atau seorang calon masih mendominasi panggung politik praktis di indonesia. Artinya, semakin besar dana yang dimiliki oleh mesin partai, maka kesempatan berkampanye melalui media masa sangat mudah untuk dilakukan. Pengaruh besar media masa – cetak atau elektronik – dalam merubah sebuah opini publik saat ini, ternyata dirasa sangat efektif untuk dijadikan sebagai media berkampanye oleh para politikus. Alhasil, media masa merupakan sarana untuk menjadikan sebuah partai atau seorang calon menjadi tranding topik di masyarakat. Berkampanye melalui media masa sangat bervariasi seperti ajakan secara langsung untuk memilih partai atau calon A, mengkritiki program kerja calon incumbent melalui sebuah treatikal drama dan hasutan-hasutan yang bersifat personalia seperti menyebarakan isu SARA.

 Pertanyaan:
1.        Bagaimana islam memandang tentang kampanye secara umum? Jika dalam ajaran islam kampanye merupakan salah satu syiasah sar’iah, kampanye seperti apa yang ideal dalam ajaran islam?
2.        Apakah hukumya kampanye hitam? Jika hukumnya haram, legalkah kepemimpinan yang dimenangkan melalui kampanye hitam dalam pandangan islam?
3.        Jika membagikan uang dan sembako sebagai sebuah kedok kampanye salah satu salon merupakan bagian dari kampanye hitam, apa hukum menerima pemberian seperti itu?  
4.        Apakah pembentukan opini publik melalui media masa merupakan bagian dari kampanye hitam?           
{Panitia Pelaksana}
Rumusan jawaban:

Istilah kampanye menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. Sementara itu, Rogers dan Storey (1987) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu” (Venus, 2004:7). Sedangkan kampanye menurut UU No 32 Tahun 2004 disebutkan sebagai kegiatan dalam rangka menyakinkan para pemilih dengan menawarkan misi, visi, dan program pasangan calon. Dengan demikian, kampanye, jika merujuk ke UU ini harus memenuhi tiga unsur kegiatan pasangan calon, yakni meyakinkan para pemilih, dan menawarkan misi, visi dan program.
Dalam konteks hukum fikih, tidak ditemukan padanan yang sesuai dengan arti kata ‘kampanye.’ Meski demikian, tidak lantas hukum fikih dengan latah menolak kegiatan kampanye ini. Alih-alih menolak, fikih klasik justru mengakomodirnya selama tidak berbenturan dengan maqosid syariah dan ajaran syariah Islam. Hal ini terbukti dengan bertebarannya praktik kampanye sejak zaman dahulu walaupun tidak diistilahkan secara khusus. Jadi, secara umum, Islam mengakui legalitas kampanye.
Sedangkan kampanye yang ideal adalah kampanye yang dilakukan secara bijak, ikhlas dan tidak melanggar aturan agama dan undang-undang pemilu pasal 86 tentang larangan dalam kampanye.
Larangan dalam kampanye yang diatur pasal 86 UU PEMILU adalah sebagai berikut:
Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang:
Pelaksana,  peserta,  dan  petugas  Kampanye  Pemilu
dilarang:
a.  mempersoalkan  dasar  negara  Pancasila,  Pembukaan Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia Tahun  1945,  dan  bentuk  Negara  Kesatuan  Republik
Indonesia.
b.  melakukan  kegiatan  yang  membahayakan  keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c.  menghina  seseorang,  agama,  suku,  ras,  golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.
d.  menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
e.  mengganggu ketertiban umum;
f.  mengancam  untuk  melakukan  kekerasan  atau menganjurkan  penggunaan  kekerasan  kepada seseorang,  sekelompok  anggota  masyarakat,  dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g.  merusak  dan/atau  menghilangkan  alat  peraga kampanye Peserta Pemilu;
h.  menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
i.  membawa  atau  menggunakan  tanda  gambar  dan/atau atribut  selain  dari  tanda  gambar  dan/atau  atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j.  menjanjikan  atau  memberikan  uang  atau  materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.
Referensi:
1.     Nihayat al-muhtaj, vol: 7, hal: 408
2.     Al-mausu`ah al-fiqhiyah al- kuwaitiyah, vol: 33, hal: 287.
3.     Fath al-bari syarh shohih al-bukhory, vol : 1, hal: 137.
4.     Bahjah qulub al-abror wa qurrot uyun al-akhyar fi syarh jawami` al-akhbar,vol: 1, hal: 315
5.     Al-furuq lil qorofy, vol: 2, hal: 33.

Redaksi referensi :
1.    نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (7/ 409)
(فَصْلٌ) فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ
وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَأْتِي فِيهَا أَقْسَامُهُ الْآتِيَةُ مِنْ طَلَبٍ وَقَبُولٍ، وَعَقَّبَ الْبُغَاةَ بِهَذَا؛ لِأَنَّ الْبَغْيَ خُرُوجٌ عَلَى الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ الْقَائِمِ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا وَمِنْ ثَمَّ اُشْتُرِطَ فِيهِ مَا شُرِطَ فِي الْقَاضِي وَزِيَادَةٌ كَمَا قَالَ (شَرْطُ الْإِمَامِ كَوْنُهُ مُسْلِمًا) لِيُرَاعِيَ مَصْلَحَةَ الْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ (مُكَلَّفًا) ؛ لِأَنَّ غَيْرَهُ مُوَلًّى عَلَيْهِ فَلَا يَلِي أَمْرَ غَيْرِهِ.
النوائب ، وقمع الظالم ونصر المظلوم ، وقطع الخصومات ، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، وفيه وضع الشيء في محله ، ليكف الظالم عن ظلمه (1) .

2.     الموسوعة الفقهية الكويتية (33/287)
ذهب جمهور الفقهاء إلى أنه يكره للإنسان طلب القضاء والسعي في تحصيله ، لما روى أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : " من ابتغى القضاء وسأل فيه شفعاء وكل إلى نفسه ، ومن أكره عليه أنزل الله عليه ملكا يسدده " ، لكن بعض الفقهاء يقيد الكراهة هنا بوجود من هو أفضل من طالب القضاء ممن هو قادر على القيام به ويرضى بأن يتولاه ، وقيل : بل يحرم عليه الطلب إن كان غيره أصلح للقضاء ، وكان الأصلح يقبل التولية .
فإن تعين شخص للقضاء بأن لم يصلح غيره لزمه طلبه إن لم يعرض عليه ، وذلك لحاجة الناس إليه ، ومحل وجوب الطلب إذا ظن الإجابة فإن تحقق أو غلب على ظنه عدمها لم يلزمه ، ويندب الطلب إن كان خاملا يرجو به نشر العلم أو محتاجا للرزق .

3.    فتح الباري شرح صحيح البخاري  ج 1 / ص 137.
والنصيحة لعامة المسلمين الشفقة عليهم والسعي فيما يعود نفعه عليهم وتعليمهم ما ينفعهم وكف وجوه الأذى عنهم وأن يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره لهم ما يكره لنفسه

4.    بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار ج 1 / ص 315.
الحديث الثامن والتسعون
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إنما الناس كالإبل المائة ، لا تكاد تجد فيها راحلة » . متفق عليه .هذا الحديث مشتمل على خبر صادق ، وإرشاد نافع .أما الخبر ، فإنه صلى الله عليه وسلم أخبر أن النص شامل لأكثر الناس ، وأن الكامل - أو مقارب الكمال - فيهم قليل ، كالإبل المائة ، تستكثرها ، فإذا أردت منها راحلة تصلح للحمل والركوب ، والذهاب والإياب ، لم تكد تجدها ، وهكذا الناس كثير ، فإذا أردت أن تنتخب منهم من يصلح للتعليم أو الفتوى أو الإمامة ، أو الولايات الكبار أو الصغار ، أو الوظائف المهمة ، لم تكد تجد من يقوم بتلك الوظيفة قياما صالحا ، وهذا هو الواقع ، فإن الإنسان ظلوم جهول ، والظلم والجهل سبب للنقائص ، وهي مانعة من الكمال والتكميل .
وأما الإرشاد ، فإن مضمون هذا الخبر إرشاد منه صلى الله عليه وسلم إلى أنه ينبغي لمجموع الأمة أن يسعوا ، ويجتهدوا في تأهيل الرجال الذين يصلحون للقيام بالمهمات ، والأمور الكلية العامة النفع .

5.    الفروق للقرافي (2 / 33)
(تَنْبِيهٌ) اعْلَمْ أَنَّ الذَّرِيعَةَ كَمَا يَجِبُ سَدُّهَا يَجِبُ فَتْحُهَا وَتُكْرَهُ وَتُنْدَبُ وَتُبَاحُ فَإِنَّ الذَّرِيعَةَ هِيَ الْوَسِيلَةُ فَكَمَا أَنَّ وَسِيلَةَ الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ فَوَسِيلَةُ الْوَاجِبِ وَاجِبَةٌ كَالسَّعْيِ لِلْجُمُعَةِ وَالْحَجِّ. وَمَوَارِدُ الْأَحْكَامِ عَلَى قِسْمَيْنِ مَقَاصِدُ وَهِيَ الْمُتَضَمِّنَةُ لِلْمَصَالِحِ وَالْمَفَاسِدِ فِي أَنْفُسِهَا، وَوَسَائِلُ وَهِيَ الطُّرُقُ الْمُفْضِيَةُ إلَيْهَا وَحُكْمُهَا حُكْمُ مَا أَفَضْت إلَيْهِ مِنْ تَحْرِيمٍ وَتَحْلِيلٍ غَيْرَ أَنَّهَا أَخْفَضُ رُتْبَةً مِنْ الْمَقَاصِدِ فِي حُكْمِهَا وَالْوَسِيلَةُ إلَى أَفْضَلِ الْمَقَاصِدِ أَفْضَلُ الْوَسَائِلِ وَإِلَى أَقْبَحِ الْمَقَاصِدِ أَقْبَحُ الْوَسَائِلِ وَإِلَى مَا يُتَوَسَّطُ مُتَوَسِّطَةٌ وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى حُسْنِ الْوَسَائِلِ الْحَسَنَةِ قَوْله تَعَالَى {ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلا إِلا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ} [التوبة: 120] فَأَثَابَهُمْ اللَّهُ عَلَى الظَّمَأِ وَالنَّصَبِ وَإِنْ لَمْ يَكُونَا مِنْ فِعْلِهِمْ بِسَبَبِ أَنَّهُمَا حَصَلَا لَهُمْ بِسَبَبِ التَّوَسُّلِ إلَى الْجِهَادِ الَّذِي هُوَ وَسِيلَةٌ لِإِعْزَازِ الدِّينِ وَصَوْنِ الْمُسْلِمِينَ فَيَكُونُ الِاسْتِعْدَادُ وَسِيلَةَ الْوَسِيلَةِ.
Soal kedua sub. A: Apakah hukumya kampanye hitam?
Rumusan jawaban:
Istilah kampanye hitam adalah terjemahan dari bahasa inggris black champagne yang bermakna berkampanye secara buruk atau jahat. Buruk atau jahat dalam pengertian merugikan orang lain atau lawan politik atau partai politik (parpol) lain, sedangkan si empunya kampanye hitam itu berharap dirinya atau partainya mendapatkan keuntungan. Kampanye hitam ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya dengan menyebarkan kejelekan atau keburukan tentang seorang politikus, menyebarkan cerita bohong, menghina yang menjurus pada suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), adu domba, hasut dan fitnah lainnya.
Jika demikian, maka hukum  dari kampanye hitam adalah haram. Karena dalam kampanye hitam itu terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh Islam, seperti mengadu domba (namîmah), menggunjing (ghîbah), berdusta (kidzib), merendahkan orang (at-tahqîr), membuka aib orang lain (kasyfu auratil muslimin) dan lain sebagainya.  Namun ada beberapa hal yang dikecualikan, seperti membuka aib calon yang dipandang akan merugikan umat Islam jika dia terpilih sebagai pemimpin. Hanya saja, amat penting untuk diingatkan bahwa pengecualian ini tidak boleh dibajak untuk kepentingan pribadi para calon. Tindakan terakhir ini, tidak saja dinilai berdosa karena telah membuka aib orang lain tetapi juga karena telah menggunakan teks-teks agama tidak sesuai dengan maksud yang sebenarnya.
Dari sudut pandang konstitusi pun, kampanye hitam melanggar  Pasal 78 ayat 2 yang menyebutkan bahwa dalam kampanye dilarang menghina seseorang dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Pada pasal 78 ayat 3, kampanye melarang untuk menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan dan/atau kelompok masyarakat. Sedangkan patuh pada aturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan syara’ dan berdampak kemalahatan umum diwajibkan oleh syara’, sehingga kewajiban negara merupakan kewajiban syara’ dan larangan negara merupakan larangan syara’.
Referensi:
1.     Ihya al-ulum al-din, vol: 2, hal: 332
2.     Riyadl al-solihin, vol: 2, hal: 182.
3.     Ghoyat al-wushul syarh lubb al-ushul, hal:
4.     Bughyat al-mustarsyidin, hal: 91.
Redaksi referensi:
1.    إحياء علوم الدين - (ج 2 / ص 332)
فنقول: الكلام وسيلة إلى المقاصد فكل مقصود محمود يمكن التوصل إليه بالصدق والكذب جميعاً فالكذب فيه حرام، وإن أمكن التوصل إليه بالكذب دون الصدق فالكذب فيه مباح إن كان تحصيل ذلك القصد مباحاً، وواجب إن كان المقصود واجباً، كما أن عصمة دم المسلم واجبة. فمهما كان في الصدق سفك دم امرئ مسلم قد اختفى من ظالم فالكذب فيه واجب. ومهما كان لا يتم مقصود الحرب أو إصلاح ذات البين أن استمالة قلب المجني عليه إلا بكذب فالكذب مباح، إلا أنه ينبغي أن يحترز منه ما أمكن، لأنه إذا فتح باب الكذب على نفسه فيخشى أن يتداعى إلى ما يستغنى عنه وإلى ما لا يقتصر على حد الضرورة، فبكون الكذب حراماً في الأصل إلا لضرورة.

2.    رياض الصالحين - (ج 2 / ص 182)
 باب ما يباح من الغيبة
اعلم أن الغيبة تباح لغرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها ، وهو ستة أسباب : -إلى أن قال- ومنها : أن يكون له ولاية لا يقوم بها على وجهها : إما بأن لا يكون صالحا لها ، وإما بأن يكون فاسقا ، أو مغفلا ، ونحو ذلك فيجب ذكر ذلك لمن له عليه ولاية عامة ليزيله ، ويولي من يصلح ، أو يعلم ذلك منه ليعامله بمقتضى حاله ، ولا يغتر به ، وأن يسعى في أن يحثه على الاستقامة أو يستبدل به .
3.    غاية الوصول في شرح لب الأصول
(ونميمة) وهي نقل كلام بعض الناس إلى بعض على وجه الإفساد بينهم لخبر الصحيحين «لا يدخل الجنة نمام». بخلاف نقل الكلام نصيحة للمنقول إليه كما في قوله تعالى حكاية {يا موسى إنّ الملأ يأتمرون بك ليقتلوك} فإنه واجب، أما الغيبة وهي ذكرك لإنسان بما تكرهه وإن كان فيه فصغيرة قاله صاحب العدة، وأقرّه الرافعي ومن تبعه لعموم البلوى بها. نعم قال القرطبي في تفسيره إنها كبيرة بلا خلاف، ويشملها تعريف الأكثر الكبيرة بما توعد عليه بخصوصه قال تعالى {أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا} قال الزركشي وقد ظفرت بنص الشافعي في ذلك، فالقول بأنها صغيرة ضعيف أو باطل.

4.    بغية المسترشدين ص : 91  دار الفكر
(مسألة ك) يجب امتثال أمر الإمام فى كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه فى مصارفه وإن كان المأمور به مباحا أو مكروها أو حراما لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله م ر وتردد فيه فى التحفة ثم مال إلى الوجوب فى كل ما أمر به الإمام ولو محرما لكن ظاهرا فقط وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهرا وباطنا وإلا فظاهرا فقط أيضا والعبرة فى المندوب والمباح بعقيدة المأمور ومعنى قولهم ظاهرا أنه لا يأثم بعدم الامتثال ومعنى باطنا أنه يأثم اهـ قلت وقال ش ق والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهرا وباطنا مما ليس بحرام أو مكروه فالواجب يتأكد والمندوب يجب وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوى الهيآت وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادى بعدم شرب الناس له فى الأسواق والقهاوى فخالفوه وشربوا فهم العصاة ويحرم شربه الآن امتثالا لأمره ولو أمر الإمام بشىء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.

1 komentar: