Laman

Sabtu, 01 Mei 2010

Kontekstualisasi Rahmatan lil `Alamin: Dari Nabi Muhammad untuk Ummat

Umamelsamfanie*


Rahmah, atau bila ditranslit bebas berbahasa Indonesia keseharian, bermakna kasih sayang. Seperti kita ketahui bersama, bahwa nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq, "innama buitstu li utammima makarimal akhlaq", dalam al Quran ditegaskan pula "innaka la `ala khuluqin adzim", dan banyak lagi ayat lain yang mengisyaratkan hal itu. Pada dasarnya, lafadz "rahmah" adalah titik sentral sukses penyebaran agama islam di muka bumi ini, hal itu berpangkal pada firman Allah subhanahu wa ta`ala "inna arsalnaka rahmatan lil alamin" yang melahirkan dua pokok pengertian; Pertama, tentang proses penyempurnaan karakter atau akhlaq mulia.
Kedua, posisi dan fungsi nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang berperan sebagai promotor nilai kasih sayang tersebut. Dari dua titik inilah, islam dengan segala target utamanya disosialisakan sejak empat belas abad lalu sampai kini, artinya, islam bukan sekedar ingin mewujudkan perdamaian semata tanpa mengindahkan nilai belas kasih sayang ketika menyebarkannya. Prinsip yang dianut adalah menyebar perdamaian dengan kedamaian yang penuh cinta, kasih sayang dalam mewujudkan cita-cita mulia itu. Kemudian hal penting yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah, apa yang dimaksud dengan rahmah atau belas kasih sayang dalam perspektif agama islam?

Rahmah dalam perspektif Islam
Terlepas dari kooptasi pengertian bahasa yang hanya melingkupi bagian terkecil dari sekian tujuan utama lafadz rahmah, secara umum, rahmah atau apapun arti padanannya, yang pasti ia bukan kalimat cinta kasih sayang yang kebablas dan tanpa aturan jelas, pun juga tidak hanya terbatas pada pemahaman temporal. Rahmah dalam konteks agama, adalah nilai kasih sayang yang tetap mengindahkan aturan syariat yang berlaku sesuai petunjuk agama, ambil contoh misalnya; Ketika ada seorang dengan semena-mena datang menghampiri pembaca, kemudian mencaci maki, lalu merampas harta benda yang jelas-jelas bukan hak miliknya, memukul, mengancam, melempari muka dengan batu, memberi hadiah bogem mentah, meludahi atau menampar wajah, dan bentuk penganiayaan serta kekerasan tak berprikemanusian lainnya, lantas dengan alasan hak asasi atau demi nilai belas kasih sayang sebagaimana pengertian umum firman Allah subhanahu wa ta`ala "inna arsalnaka rahmatan lil `alamin", lalu pembaca diam pasrah tak melawan dan menerima begitu saja tindakan amoral tersebut dengan dalih dzahir ayat tersebut. Tentu kita harus bertanya kembali apa sesungguhnya makna ayat itu?, bagaimanakah semestinya kita mengimplementasikan dalam kenyataan? inilah yang banyak disalah tafsirkan, ada sebagian kita menyalahkan kekerasan yang dilakukan seseorang dengan dalih ayat "rahmah" ini secara serampangan dan apa adanya, ada yang memaknai tujuan ayat tersebut dengan banyak versi sesuai tujuan masing-masing kelompok, sehingga dengan dalih makna ayat sesuai versi makna yang diyakini itu pulalah, seseorang bertindak beda, walaupun kenyataannya banyak tindakan yang tidak seperti difahami mayoritas kita, sebagaimana realitas yang kini banyak terjadi, sekadar contoh saja: bila kita ditanya sepintas kilas, kalau ada orang dipotong tangannya atas dasar teks agama, dimanakah menurut penulis nilai belas kasihan agama padanya, dimana letak nilai kerahmatan islam untuk seru alam semesta?, sekilas kontradiktif bukan?!.

Tapi, coba kita pahami alasan berikut ini: Bila ada seseorang dengan keringat membasahi badannya, ia telah lelah, letih, bekerja keras tak kenal siang dan malam, ia bekerja banting tulang, -meminjam istilah Zainuddin MZ.-, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, ia rela dengan semua itu hanya untuk mendapatkan sesuap nasi, sepeser uang demi menyambung hidup keesokan hari, namun keringat belum kering, uang yang didapat yang mestinya mampu mengembalikan semangat kerjanya untuk terus bertahan hidup, dengan tanpa perasaan, semua itu dirampas oleh seorang penjambret bertopeng ala ninja, dengan sebilah kapak merah seraya membentak dan mengancam mati, tidak sampai di situ, tindakan premanisme tersebut dilanjutkan aksi melukai bagian punggung korban, bahkan untuk lolos dari kepungan masyarakat, penjambret berani beraksi nekat dan lebih bejat lagi dengan menabrakkan sepeda motornya pada korban yang berprofesi pekerja serabutan itu, pelaku tidak ambil pusing dengan umur korban yang sudah udzur, dan sikorban harus jatuh tersungkur, bersimbah darah segar, sementara uang hasil jerih payahnya hilang dibawa kabur manusia berotak hewan itu, sungguh sial betul nasib yang dialaminya.

Jika gambaran kasus ini ditanyakan pada korban, besar kemungkinan secara sepontanitas, ia akan berkata: … dasar penjambret, tidak tahu rasa kasihan, manusia tidak berperasaan, itulah kiranya jawaban spontan yang penulis yakini. Alasan penulis dengan kesimpulan jawaban itu cukup sederhana, karena penjambret tidak lagi berprikemanusiaan sebagaimana diajarkan pancasila, ia bukan hanya melanggar dalil al Qur`an dan al Hadits, ia bahkan melanggar batas rasio normal manusia, ia tidak mengenal indahnya cinta perdamaian, ia tidak belas kasihan, sungguh dimanakah nilai kerahmatan sipenjambret pada sikorban?

Karenanya, Pantas jika al Quran demi tegaknya normalisasi akal dan nilai kemanusiaan yang sejati, lalu dengan tegas mewajibkan bagi pencuri yang sudah memenuhi syarat-syarat menurut hukum syari`at islam harus di"potong tangan". Lalu masih sangsikah sangsi ini jika dihadapkan pada realitas kehidupan yang amat kejam seperti dialami banyak korban penjambretan di kota metropolitan, atau korban kekerasan tak beradab lainnya?!, Sementara pencuri yang terang-terangan mengancam jiwa kian marak beraksi, bahkan sudah tidak segan lagi mengancam keselamatan jiwa, disinilah rahmah dalam persepsi agama harus dipertimbangkan kontekstualisasinya. Bukankah guru tatkala memberi sangsi pada murid yang tidak mengerjakan tugas pelajaran, hal itu demi tujuan kebaikan simurid itu sendiri? Itulah rahmah dalam persepsi agama, bukan kasihan yang tak berlandaskan tujuan demi mewujudkan cita mulia, bila kita yakin islam datang demi sebuah perdamaian dunia, maka semua tindakan yang mengarah pada kerusakan dimuka bumi harus dihapuskan.

Rahmah dalam islam adalah mewujudkan cita melalui cinta, bukan pengrusakan dan penistaan harga diri, satu diantara kecintaan serta kerahmatan islam terkait kasus pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan lain sebagainya adalah dengan menegakkan hukum yang mengatur hal itu- tentu harus melalui tahapan-tahapan-, tahapan itu penting ditegaskan di sini untuk mewujudkan rasa aman dan damai bagi semua orang, karena pelaku kerusakan di muka bumi pada prinsipnya harus dienyahkan, mereka harus diperangi dengan cara yang tidak menimbulkan efek kerusakan yang lebih parah, tapi mampu membuat jera pelaku, agama menyerukan hal itu, namun proses demi proses menuju tindakan hukum yang berefek besar itu harus melalui jalur normative dan hukum yang benar sesuai aturan syariat, sehingga tidak membentur tembok kokoh yang sudah jelas pondasi hukumnya, menegakkan keadilan harus berasas adil, memerangi tindakan pengrusakan harus dengan tidak menimbulkan efek kerusakan lebih besar, mewujudkan cita harus dengan empati dan rasa cinta, memimpikan tegaknya hukum dan kebenaran harus melalui kebenaran pula, bukan rekayasa, itulah prinsip dasar rahmah yang harus diketahui sebelum memutuskan tindakan atas nama agama.

Jika dalam aturan hukum islam telah dijabarkan bahwa tindakan brutal harus dienyahkan dari muka bumi, maka implementasi untuk tujuan hukum itu sudah tidak lagi berurusan dengan perasaan dan keterkaitan emosi antara sesama manusia, karena dalam persepektif agama tidak hanya menggunakan pertimbangan kemashlahatan rasional semata, tapi ada nilai ta`abbudi dan ta`aqquli dilain sisi yang harus dianut, artinya apakah rasional atau tidak menurut kita, jika aturan yang mewajibkan manusia untuk melakukan hal tertentu dalam konteks agama, maka hal itu harus dilakukan dan ditegakkan, ta`abbudan lillahi ta`al'a ( sebagai bentuk penghambaan kita pada Allah). Yang paling penting diperhatikan adalah; Bagaimana kita dapat melaksanakannya penuh tanggungjawab, dengan melalui tahapan-tahapan prinsip yang telah dijabarkan dalam berbagai macam referensi keagamaan, bukan mengingkari kewajiban hal itu atau bahkan menegasikannya secara total, yang dengan tegas telah disebutkan dalam sumber dasar hukum agama; al Qur`an dan al Hadits, serta telah dijabarkan melalui tafsir-tafsir yang kontekstual dalam banyak reference keagamaan.

Pembaca…, Bukankah Negara kita sudah biasa mengekskusi para perusak tatanan nilai kemanusiaan atas dasar hukum positif? apa bedanya menyebut qishah dengan ekskusi mati pelaku criminal untuk tingkatan pengrusakan yang berakibat kecelakaan tertentu?. Masih tidak yakinkah kita dengan kebenaran islam? atau sekali lagi, apakah karena kemunafikan berdalaih "rahmatan lil alamin" yang diissukan tidak pada tempatnya, lalu kita mementahkan substansi hukum islam? Kalau semua prilaku yang merugikan masyarakat umum harus dilindungi terus-menerus dan dianulir dengan rasa kasihan, padahal agama telah memberi rambu hukum yang jelas demi melindungi kenyamanan manusia, maka menurut penulis, muslim Indonesia sejak lama telah berada pada jalan bengkok yang sampai sekarang belum sempat diluruskan, kita menginginkan Negara yang makmur, adil, sejahtera, aman dan sentosa, terjemah bahasa jawanya: gemah ripah loh jinawi, toto tentrem raharjo, atau kaum santri akrab menyebut; baldah toyyibah wa rabbun ghafur. Tapi harapan itu terlalu idealis sekali, kalau untuk memahami kewajiban potong tangan dan qishas saja harus terus diperdebatkan keabsahannya, dipersangsikan validitas tafsirnya, sementara di lain ranah, hukum yang jelas dibenarkan agama, seperti poligami, pernikah dini dan sirri yang telah memenuhi syarat menurut ulama madzahib terus disoal dan dipertentangkan dengan alasan melanggar hukum Negara atau hak asasi manusia, bias gender, dan lain sebagainya.

Mungkin ada juga sebagian pembaca yang bertanya-tanya, kenapa Indonesia sebagai negera berpenduduk muslim mayoritas, hukum negaranya pada sebagian praktik keagamaan sering bertentangan, ini aneh, mestinya selaras atau setidaknya tidak bertolak belakang mengingat penduduknya yang mayoritas muslim, apalagi hal-ihwal yang bersifat ahwal syahsiyat, seperti pernikahan dini atau ta`addud zaujat (poligami)?. Bagi penulis realitas hukum Negara kita menjadi sering bertentangan dengan prinsip asasi islami, lebih karena kurangnya pemahaman holistic terhadap tuntunan dan tuntutan agama, terputusnya informasi keagamaan antara ulama dan umara (penguasa), dan banyaknya pemahaman trans yang berusaha diakomodir melebihi batas proporsional. Nah, berpangkal mula dari hal yang tidak berdasar pengetahuan secara menyeluruh itulah, perasaan kasihan, melanggar hak asasi manusia, hukum islam tidak tidak relevan, kurang ramah, menghapus hak anak-anak, bias gender, anti persamaan dan argument apologis hukum wadh`i lainnya terus diopinikan dan dibangun sebegitu rupa untuk menutupi kemunafikan, sejatinya kita sudah meyakini semua itu, tapi nafsu dan ajakan kebatilanlah yang sering membawa kita tak berdaya untuk mempraktikkan tuntutan agama yang sesungguhnya mudah dan tak perlu banyak pertimbangan, jika kita juga mengikutinya sesuai procedural yang mengatur hal itu sebagaimana dijelaskan dalam reference hukum-hukum agama.

Pembaca…, dalam hati penulis terbetik kata, mungkin perspektif agama yang dikemukakan ini akan dituding sebagai pemikiran radikal, wacana gawat darurat atau transformasi pemahaman tekstualis-skriptual yang akan mengancam kerahmatan islam dimuka bumi, tapi..., bersabarlah sejenak dan mari kita teruskan membaca terlebih dahulu, kemanakah arah yang akan penulis tuju?. Sesungguhnya Islam bukan agama anti perdamaian, justru islam adalah substansi damai itu, kedamaian yang ditargetnya bukan hanya di dunia fana, tapi juga di akhirat kelak, karena itu, islam adalah kedamaian sebagaimana yang banyak dipersepsikan akal pikir manusia, ia bukan pula anti cinta dan kasih sayang, tapi seperti apakah kedamaian dan prinsip cinta serta kasih sayang dalam islam itulah yang perlu ditegaskan. Islam adalah agama yang jelas aturan dan sumber hukumnya, ia memiliki konsep dasar final dalam segala aspek, mulai dari keyakinan, hubungan social-kemasyarakatan, politik, budaya dan aktifitas kemanusian lainnya, ia bukan lembaga tempaan manusia yang tata hukumnya bisa dikondisikan sesuai waktu dan tempat, sehingga dapat diatur sebutuhnya saja. Bagi islam, praktik rahmah harus diaplikasikan tepat waktu, tempat dan siapa pelaku serta obyeknya, sehingga sebagai muslim kita tahu posisi, kapan kita harus mengasihi, menyayangi, mencintai dan berdamai sesuai bimbingan islam, begitupun sebaliknya. Jadi sudah ada waktu, tempat yang pas untuk semua itu.

Tentang peran akal manusia, kita tidak mengingkari pengetahuan dan kemampuan yang dihasilkan melalui media akal, tetapi kita tetaplah manusia yang berakal biasa, bukan manusia luar biasa, kemampuan akal kita tetap terbatas ruang dan waktu, bisa berubah sesuai pengaruh situasi dan kondisi, maka menjadikan akal sebagai barometer utama dalam menjalankan aktifitas keberagamaan, dalam perspektif agama hal itu dapat dikelompokkan layaknya manusia dungu, karena kita terus menerus dikalahkan akal yang tak pernah memberi kepuasan alasan dan jawaban jelas, kita butuh bimbingan agama yang dipandu al Qur`an, al Hadits, Ijma` dan al Qiyas, atau singkatnya, dapat mengikuti apa yang telah diperaktikkan Nabi dalam bentuk kata, perbuatan dan ketetapannya, karena hal itu adalah aplikasi nyata dari ayat-ayat al Qur`an yang telah dikontekstualisasikan mengikuti konsep dasar yang dibutuhkan manusia pada umumnya, lalu diikuti para khulafaur rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, yang dilanjutkan para shahabat kemudian para pengikutnya (tabi`in) dan pengikut-pengikutnya (tabi`in attabiin) sampai kemudian kepada para alim ulama yang disebutkan dalam hadist sebagai warasatul anbiya, pada mata rantai terakhir inilah penafsiran tentang siapakah ulama warasatul anbiya banyak diperdebatkan, sama halnya ketika perdebatan dimasa-masa lalu tentang posisi keutamaan para shahabat nabi. Bedanya, kalau ulama, yang diperdebatkan sekitar siapa yang berhak disebut sebagai pewarits anbiya, sementara shahabat berkisar pada siapa diantara mereka yang lebih utama keshahabatannya, dan tentu masih banyak perbedaan substansi lainnya. Jelasnya, dalam kehidupan kita, tidak cukup hanya sekedar berpangku pada akal belaka, karena akal lebih mengarah pada kepuasan nafsu yang tak berkesudahan bila tidak diiringi bimbingan agama. Point ini terkait langsung dengan keyakinan kita dalam beberapa aktifitas keagamaan yang kadang hanya bernilai ta`abbudi saja (penghambaan). dan dilain aktifitas ada banyak yang berbarengan dengan nilai ta`aqquli, sesuai rasio manusia, dari dua kenyataan itu, nilai ibadah yang bersifat ta`abudi saja sering mendapat perlawanan cukup banyak dari sebagian kita yang pro ta`aqquli dan sulit untuk cepat menerima begitu saja, beda halnya dengan aktifitas agama yang menjamak antara keduanya, hal itu lebih mudah diterima setiap kelompok.

*) Wakil Syuriah PCI NU Yaman

2 komentar:

  1. yes nu yaman, ayo maju, bersama kita tunjukkan kreatifitas penuh kualitas...

    BalasHapus