Laman

Sabtu, 01 Mei 2010

Membela Walisongo ( Tanggapan terhadap statemen Syaikh Ali Thonthowi )

Oleh : Nawa Muhammad *)

Sejarah memiliki ikatan erat dengan kesadaran manusia. Karena sejarah merupakan media yang menampung semua kegiatan manusia dalam segala aspek. Baik budaya, social, politik, maupun ekonomi. Proses transformasi dan generalisasi nilai yang pernah dilalui suatu bangsa juga tidak akan mampu dipahami oleh generasi berikutnya jika tidak terdapat system penghubung antar generasi tersebut.


Kompatibilitas antara sejarah dan kesadaran manusialah yang membuat pemahaman terhadap sejarah menjadi keniscayaan. Niscaya, karena manusia ( sesuai fitrahnya ) dituntut sadar terhadap tanggung jawab koletif untuk mengawal laju peradaban bangsa dan mengamankannya dari proses demoralisasi dan sekian isme yang mengarah pada defitrahisasi ( istilah saya sendiri )

Pemahaman terhadap sejarah, termasuk sejarah masuknya Islam di Indonesia kebanyakan berorientasi pada proses oralisasi, lengkap dengan sekian prokon yang ditimbulkan oleh struktur system masyarakat dalam memahaminya. Pemahaman terhadap sebuah diksi sejarah akan sangat memiliki pengaruh yang kuat terhadap cara berpikir, berlaku, dan bertindak suatu masyarakat. Sehingga dari ini dapat kita tarik benang merah, bahwa perbincangan sejarah sebenarnya bukan kegiatan mendongeng an sich. Namun, dari aktivitas tersebut, peradaban suatu bangsa sedang dipertaruhkan. Karena proses transformasi peradaban sebuah bangsa ditentukan dengan bagaimana sebuah generasi memahami sejarah bangsanya.

Tulisan ini merupakan upaya mereaktualisasi pemahaman sejarah tentang siapa sebenarnya para Walisongo. Sekaligus menelisik asal-usul silsilah nasabnya sebagai bentuk pembelaan terhadap sejarah Islam Indonesia dari gejala keburam-kaburan yang justru ditimbulkan dari studiy sejarah itu sendiri. Selain itu, juga merupakan upaya intelektual untuk menegaskan kontribusi riil ulama Hadhramaut dalam dinamika dakwah Islam di Indonesia yang sejauh ini hanya sebatas oralisasi sejarah.

Statemen Syaikh Ali Thonthowi dalam kitab Rijalun min Al-Tarikh
Walisongo merupakan fenomena sejarah Islam Indonesia. Merekalah yang menurut banyak referensi sejarah adalah para da'i yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Meskipun terjadi perdebatan panjang mengenai munculnya beberapa da'i yang diduga lebih dulu menyebarkan Islam di Indonesia sebelum mereka, namun fakta antropologi, sosiologi, dan intelektual, membuktikan bahwa Walisongo inilah yang banyak mempengaruhi ciri beragama masyarakat Indonesia sampai sekarang. Sehingga proses konversi yang dilakukan setiap generasi terhadap nilai warisan Walisongo menjadikan keberagamaan Indonesia memiliki ciri tersendiri.

Walisongo lantas menjadi model beragama masyarakat Indonesia, sehingga kemudian banyak upaya menghadirkan kembali sosok mereka. Puluhan buku sejarah Walisongo ditulis, bahkan, industri perfilmanpun ikut andil dalam memvisualisasi kegigihan mereka dalam berdakwah. Namun dengan tiba-tiba, seorang sejarawan besar asal Mesir, Syaikh Ali Thonthowi, dalam kitabnya Rijalun min Al-Tarikh, menyangsikan sejarah mereka.

Dalam kitab Rijalun Min Al-Tarih yang merupakan kompilasi dari lebih 500 buku sejarah Islam berbagai bangsa tersebut, Syaikh Ali Thonthowi ( dengan penuh kesadaran ) tidak memasukkan Sejarah Islam Indonesia. Menurut beliau, hal itu disebabkan oleh ketidak jelasan asal-usul dan sislsilah nasab para dai Islam di Indonesia ( Walisongo ). Berikut ini kutipan statemen beliau: "saya telah berada di Indonesia selama satu bulan, hari-hari saya di sana saya habiskan bersama para cendekia dan sastrawan, sementara malam harinya saya gunakan untuk memberikan kuliah dan seminar. Saya telah mengunjungi berbagai universitas dan perpustakaan sampai ahirnya saya sampai di bagian ujung pula jawa. Di sana terdapat makam seorang yang membawa Islam ke Negara tersebut yang bernama Ibrahim. Mereka mengagungkan tokoh ini dan menyebutnya Sultan Ibrahim. Siapakah sebanarnya Ibrahim yang dimaksud ? Saya tidak menemukan seorangpun atau satu referensipun yang mampu menunjukkan siapa sebenarnya dia dan darimana dia berasal "

Tidak jelas siapa yang dimaksudkan dengan Ibrohim oleh Syaikh Ali Thonthowi. Apakah Ibrahim Asmarakandi yang makamnya terdapat di Tuban, atau Maulana Malik Ibrahim yang makamnya terdapat di Gresik. Dalam paragraf tersebut pun terdapat ambiguitas pemahaman. Melihat kalimat beliau " di sana terdapat makam seorang yang membawa Islam ke Negara tersebut " dapat diduga yang dimaksud beliau adalah Ibrahim Asmarakandi, karena banyak sejarah yang menuturkan bahwa beliaulah yang pertama kali membawa Islam. Namun jika melihat kalimat belaiu yang lain " Mereka mengagungkan tokoh ini dan menyebutnya Sultan Ibrahim." Bisa saja yang dimaksudkan adalah Maulana Malik Ibrahim Gresik, karena kalimat Maulana yang digunakan sebagai nama depan Malik Ibrahim bisa berarti Sultan.

Barangkali dapat dimaklumi, bahwa pada masa awal masuknya Islam ke Indonesia, kodifikasi sejarah belum menjadi sesuatu yang dipenting-soalkan. Sehingga hal tersebut, di kemudian hari menimbulkan perdebatan panjang seputar asal-usul para da'I yang pertama kali menyebarkan Islam di Nusantara. Ketiadaan kodifikasi sejarah itu diperparah lagi dengan politik kolonial belanda yang memang sengaja mengaburkan sejarah masuknya Islam di Nusantara. Amir Syakib Arslan dalam bukunya Hadlir al Alam Al Islami menjelaskan ini sebagai gagasan licik dari orientalis belanda kenamaan, Snouck Hurgronje. Menurut Amir Syakib, belanda hanya menjelaskan bahwa proses masuknya Islam dimulai dengan ekspedisi niaga bangsa Arab yang kemudian dilanjutkan dengan pertukaran pengetahuan yang terjadi antara mereka dan pribumi, dan sangat jarang – untuk tidak mengatakan tidak sama sekali – menjelaskan beberapa imperium yang didirikan oleh para pedagang Arab. Hal ini kemudian dimasukkan kedalam system pendidikan kita sehingga yang banyak kita ketahui adalah Islam masuk ke Nusantara dibawa pedagang dari Gujarat, selebihnya banyak yang tidak dimengerti.

Dari Tarim Hadhramaut ke India
Bertolak dari Gujarat-India yang menurut sumber-sumber terkuat merupakan negeri asal Walisongo, kita akan merunut sejarah mereka secara lebih detail. Menurut Sayyid Abdurrohman bin Muhammad bin Husain Al Masyhur ( pengarang kitab Bughyat al Musytarsyidin ) dalam kitabnya Syamsu Al Dhohiroh, pada paruh kedua abad ke enam Hijriyyah, Sayyid Abdul Malik bin Alawi Muqoddam Ali Abdul malik meninggalkan kota Tarim menuju India. Tidak disebutkan apa motivasi beliau melakukan Hijrah tersebut, apakah karena kepentingan dakwah atau semata dagang, namun banyak diduga ekspedisi ini bertujuan keduanya, mengingat bahwa sejarah mencatat kebiasaan warga Hadhramaut dalam melakukan dagang sekaligus dakwah di berbagai daerah yang mereka singgahi.

Sesampainya di India, beliau melakukan dakwah sekaligus dagang. Perkembangan dakwah dan dagang yang dirintis oleh beliau ternyata cukup menunjukkan hasil yang signifikan sehingga ahirnya beliau menetap di sana. Bahkan, beliau dan putra-putra beliau memiliki daerah sendiri di India bagian timur dan bergelar Udhmat Khan atau Azmatkhan ( dalam beberapa literature, gelar ini disebutkan Udhmat Khazin ). Van Den Berj, seorang orientalis Belanda dalam sebuah bukunya menuturkan, bahwa, sebagian keluarga Alawiyyin ( istilah untuk menyebut Ahlilbait ) tidak tinggal di Hadhramaut, karena keluarga Abdul Malik terdapat di India, dan di daerah ini mereka bergelar Udhmat Khan.

Selanjutnya, pada paruh pertama abad ke 7 Hijriyyah ( 13 Masehi ) kepentingan dakwah dan niaga membuat sebagian dari anak dan cucu Sayyid Abdul Malik berpencar ke Kamboja, Thailand, dan bahkan China. Dari sekian banyak cucu beliau yang berangkat ke Asia Tenggara adalah Husain, anak dari Ahmad Syah Jalal yang bermukim di India. Selanjutnya Husain menetap di Kamboja. Selain berdakwah di Kamboja beliau bersama dua anaknya Ibrahim dan Nuruddin atau Nurul Alim sering bepergian ke Siyam dan Jawa. Oleh orang jawa, Husain diberi gelar Jumadil Kubro atau Jumadil Akbar. Sedang kedua anaknya, Ibrahim ( Asmarakandi ) dan Nurul alim berpencar, Ibrahim kemudia berdakwah di Jawa Timur ( Di sekitar Tuban ), sedang Nurul Alim berdakwah di Jawa Barat yang selanjutnya memiliki keturunan Syarif Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati ).

Silsilah nasab Walisongo.
Tedapat beberapa versi mengenai silsilah nasab Walisongo yang sampai pada Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa Sislsilah nasab yang ditulis secara pribadi seperti yang dilakukan Muhammad Irfan dalam bukunya Sunan Giri dan Maulana Malik Ibrahim atau silsilah yang ditulis oleh instansi seperti Kasunanan Cirebon dan Kesultanan Palembang. Dari sekian silsilah tersebut hamper semuanya sama, atau jikapun terdapat perbedaan, hal tersebut hanya terdapat pada penulisan nama, misalnya Nurul Alim ditulis dengan Nuruddin dsb.

Untuk memperjelas silsilah nasab walisongo sampai Rasulullah SAW, berikut ini adalah kutipan dari kitab Tarikh al-Islam fi Banten yang menyebutkan nasab walisongo :

Ibrahim Asmarakandi ( Tuban ) bin Husain Jamaluddin Jumadil Kubro ( Bugis ) bin Sayyid Ahmad Syah Jalal ( India ) bin Sayyid Abdul Malik ( Tarim-India ) bin Sayyid Alawi ( Tarim ) bin Sayyid Muhammad ( Sohibu Mirbath Hadhramaut ) bin Sayyid Ali ( Qasam Tarim ) bin Sayyid Alawi ( Beit Jubeir-Tarim ) bin Sayyid Muhammad ( Beit Jubeir-Tarim ) bin Sayyid Alawi ( Sumal ) bin Sayyid Abdillah ( Ardlbur-Hadhramaut) bin Sayyid Ahmad ( Husyaisah-Hadhramaut ) bin Sayyid Isa (Bashrah-Iraq ) bin Imam Muhammad Naquib ( Bashrah-Iraq ) bin Imam Ali Al-Uraidli ( Madinah ) bin Imam Ja'far Shodiq ( Madinah ) bin Muhammad Al Baqir ( Madinah ) bin Sayyid Ali Zainal Abidin ( Madinah ) bin Sayyid Husain ( Madinah ) Bin Sayyidah Fatimah Al-Zahra binti Rasulullah SAW.

Silsilah yang tersebut di atas sudah dibandingkan dengan beberapa silsilah yang terdapat di Kesultanan Palembang, Kasepuhan Cirebon, dan Banyuwangi. Selain sesuai dengan silsilah yang ditulis di Indonesia, silsilah tersebut juga sesuai dengan salinan Silsilah yang terdapat di Rabithah Alawiyyin ( Ikatan bani Alawi ) yang terdapat di Arab Saudi. Selain itu juga diperkuat dengan pernyataan Road De La Faille F.DE yang menyatakan bahwa nasab Syaikh Jamaluddin Jumadil Kubro sampai pada Sayyid Ali Zainal Abidin.

Kontribusi imigran Hadlramaut dalam sejarah Islam Indonesia.
Membicarakan sejarah Islam di Indonesia, ( bagaimanapun ) tidak akan dapat terlepas dari membicarakan kontribusi imigran Hadlramaut dalam melakukan usaha penyebaran Islam di Nusantara. Sejak lama bangsa Hadlramaut memang memiliki kecenderungan untuk melakukan ekspedisi dagang ke luar daerah mereka. Hal ini menurut para sejarawan disebabkan terbatasnya sumber daya alam yang terdapat di Hadlramaut. Salah satu ekspedisi yang mereka lakukan ialah menuju Asia Tenggara, sehingga kemudian sejarah mencatat banyak para Imigran tersebut yang berhasil mendirikan imperium Islam di Malaysia, Singapura, Brunei, Kamboja dan Thailand.

Di Indonesia, mereka juga berhasil mendirikan beberapa imperium turatama diluar jawa seperti kerajaan Pontianak, Palembang, Aceh, dan Banjar yang didirikan oleh imigran asal Hadlramaut. Adapun di Jawa, kekuatan Majapahit sebagai imperium besar yang menjadi salah satu negara maritime yang disegani dunia kala itu mampu ( untuk sementara ) membendung arus Islam masuk ke Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, sedangkan di Jawa Barat dan sebagian kecil Jawa Tengah di bendung oleh kekuatan kerajaan Padjajaran. Baru setelah berdirinya kesultanan Demak, arus Islam itu mulai menyebar ke seluruh Jawa.

Kontribusi imigaran Hadlramaut dalam melakukan dakwah Islam di Indonesia ini juga sempat membuat bingung pemerintah penjajahan belanda. Hal tersebut terbukti dengan pidato orientalis Snouck Hurgronje yang dikutip Syakib Arslan dalam Hadlir Al-Alam Al-Islami bab Islam di jawa. Kata Snouck: Permasalahan Imigran Hadlramaut merupakan masalah yang dianggap ringan oleh pemerintah Belanda, pemerintah dengan mudah memberikan ijin masuk kepada mereka dan hanya memberlakukan syarat-syarat yang mudah mereka penuhi ketika mereka hendak menetap (di Indonesia ). Namun setelah mereka menetap dan melakukan dakwah, kita merasa kewalahan membendung aksi itu. sehingga saat ini, kita ( Belanda ) menghadapi problem dilematis antara keharusan menekan mereka untuk memproteksi gerakan dakwah Islam dan kehawatiran tekanan itu akan membuat mereka mengadu ke Khilafah ( Turki ), dan semua media baik Islam maupun non Islam lantas mengekspos pengaduan tersebut. Jika begitu adanya, maka politik internasional kita akan berada dalam posisi yang sangat rawan, karena pengaduan itu benar-benar berbahaya.

Pidato orientalis Snouck Hurgronje tersebut secara implicit menggambarkan kontribusi imigran Hadlramaut dalam proses Islamisasi Indonesia merupakan hal yang mencemaskan bagi belanda. Hal tersebut bisa dimaklumi mengingat ideology penjajahan belanda yang semata-mata berlatar belakang ekonomi mengharuskan mereka menutup celah apapun termasuk ideology yang bersifat subversive. Dan bentuk subversi yang paling ditakuti Belanda adalah subversivitas dengan latar belakang Agama.

Dari beberapa penjelasan diatas membuktikan bahwa, statemen Syaikh Ali Thontowi dalam Rijalun Min Al-Tarikh adalah pemburam-kaburan sejarah Islam Indonesia. Atau ( mungkin ) beliau tidak menemukan beberapa reverensi yang menyebutkan hal tersebut, sehingga timbullah statemen dalam Rijalun Min Al-Tarikh itu. Atau bias jadi, sejarah Islam Indonesia memang memerlukan regenesis. Bangsa yang besar, kata para founding father bangsa, adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya. Hal itulah yang kemudian menginspirasi revolusioner Ir. Soekarno mencetuskan akronim Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bagaimana dengan generasi muslim Indonesia, bagaimana dengan kita ?? Wallahu A'lam.

Bibliografi :
Syamsu Al-Dhohiroh : Abdurrahman Muhammad Al-Masyhur
Hadlir Al-Alam Al-Islami : Amir Syakib Arslan
Muhtar Al-Mashun : Muhammad Hasan Musa
Tarikh Al-Islam Fi Banten : Ahmad Assagaff
Ta'liq Syamsu Al-dhohiroh : Dliya' Syahab
Intelektual Pesantren : Abdurrahman MA, P.Hd
Al Islam wa Muskilat al-Hadloroh : Sayyid Qutub
 

*) Penulis adalah Presiden Persatuan Pelajar Indonesia di Yaman (PPI Yaman) dan sekarang sedang memulai belajar menjadi kontributor di beberapa media.

3 komentar:

  1. Terima kasih untuk Mas Nawa Muhammad atas tulisan ini... telah membantu memasyhurkan Azmatkhan yang mastur...

    Insya Allah, keluarga Azmatkhan akan menjadi penerus perjuangan Wali Songo. Amin.

    BalasHapus
  2. Terima kasih banyak atas pencerahannya..mas nawa,di Mojokerto ada makam seorang waliyulloh yg dikenal dg nama syaikh jumadil kubro,kabar2nya beliau adalah guru dari gajah mada dan punya keterkaitan dg walisongo.Apa syaikh jumadil kubro yg ini adalah jumadil kubro yg ada d tulisan njenengan?..& yg makamnya di buhr itu abdillah apa ubaidillah?...good luck buat PCI Yaman

    BalasHapus
  3. Terima kasih, tulisan yg dpt menambah wawasan...
    Saya baru saja ziarah ke makam wali songo, smpt mampir ke Pesantren Perut Bumi, Tuban, yg konon ada kaitannya dgn Syaikh Maulana Maghribi.. Dari situ saya bnyk mendengr silsilah para walisongo, bhw slh satu nenek moyangnya adlah Syaikh Ibrahim Asmarakandi, orang tua Sunan Ampel.
    Saya jg prnh ziarah ke makam Syaikh Jumadal Kubro, baik yg di Kali Urang, Jogja maupun yg di Mokokerto. Yg di Kali Urang tertulis silsilah nasab beliau, kl tdk salah beliau adalah keturunan kelima dari Rasulullah SAW....

    BalasHapus